Monday, December 18, 2006

Masih Mau Jadi Akuntan (2)? Saat Laporan Keuangan Berubah Wujud

Satu lagi perubahan besar yang mesti siap-siap diantisipasi oleh kita para akuntan dan para auditor, yaitu perubahan wujud pelaporan keuangan. Ya betul...laporan keuangan sedang direncanakan untuk diubah, tidak berubah total, tapi setidaknya ada banyak perubahan di bagian pengelompokan akun-akun demi terciptanya integrasi antara 3 laporan keuangan yang sudah ada (Laporan Posisi Keuangan-Neraca, Laporan Kinerja Keuangan-Laba/Rugi, dan Laporan Arus Kas).

FASB (IAI-nya Amerika) dan IASB (IAI-nya Global) sudah bertemu untuk membahas ide ini. Pertemuan mereka berjalan positif dan standar baru pelaporan keuangan diharapkan akan dapat dirilis sekitar tahun 2008-2009, untuk selanjutnya disosialisasikan kepada publik. Usulan laporan keuangan model baru ini dilandasi semangat untuk meningkatkan kualitas informasi laporan keuangan. Selama ini, banyak pihak memandang bahwa laporan keuangan terlalu terfokus pada laba perusahaan, laba per saham dan rasio-rasio laporan keuangan yang disusun dari neraca. Imbasnya, laporan keuangan menjadi objek manipulasi pihak-pihak yang menyusunnya. Selain itu, banyak pihak juga mengeluhkan sulitnya menggabungkan informasi yang terdapat di tiga laporan keuangan (Neraca, Laba/Rugi dan Arus Kas) tersebut, sehingga information cost dan opportunity cost yang ditimbulkan menjadi tinggi.

Dengan format pelaporan keuangan yang baru, seperti terlihat di bawah ini, dapat dilihat bahwa laporan keuangan perusahaan terlihat terhubung satu sama lain. Tambahan, gambaran operasi perusahaan juga terlihat dengan jelas di sana, di mana kita bisa melihat ringkasan aktivitas lewat pengelompokan: business, discontinued operation, financing dan income taxes. Lebih lanjut, format baru ini juga memberikan kita informasi sumber daya keuangan perusahaan dengan lebih transparan. Antara lain kita bisa mendapatkan informasi bahwa aset A dibeli memakai uang pinjaman bank atau memakai modal perusahaan. Selain itu, kita juga bisa dengan mudah melihat komponen Income suatu perusahaan, seberapa besar terdiri dari akrual (belum terealisasi dalam kas) dan seberapa besar terdiri dari kas. Hal ini bisa dilakukan dengan mengurangi Income yang ada di Laba Rugi dengan operating cash flow di laporan arus kas.

Menurut hemat saya, format ini memang diperuntukkan untuk menjawab keinginan para investor dan analis laporan keuangan yang memang kerap mengeluh tentang sulitnya 'menyaring' informasi yang disajikan di laporan keuangan. Satu yang sedikit dilupakan oleh para 'dewa-dewa' di FASB dan IASB, bahwa angka-angka di laporan keuangan tersebut dihasilkan oleh kita-kita para akuntan dan diverifikasi oleh kita-kita para auditor. Perubahan format berarti juga perubahan standar dan pengetahuan, ini artinya kita harus bersiap mulai belajar dari nol lagi. Sekaligus, kita mesti bersiap-siap menjadikan buku akuntansi zaman kita sekarang sebagai barang antik!!

Rancangan Format Laporan Keuangan Yang Baru
http://www.fasb.org/project/financial_statement_presentation.shtml

Statement of Financial Position
Business
Operating assets and liabilities
-Short-term
-Long-term
Investing assets and liabilities
-Short-termLong-term
Discontinued operations
Financing
Financing assets
-Short-term
-Long-term
Financing liabilities
-Short-term
-Long-term
Equity
Income taxes
-Short-term
-Long-term

Statement of Earnings and Comprehensive Income
Business
Operating income
Investment income
Discontinued operations
Financing
Financing income
Financing expenses
Income taxes

Statement of Cash Flows
Business
Operating cash flows
Investment cash flows
Discontinued operations
Financing
Financing asset cash flows
Financing liability cash flows
Equity cash flows
Income taxes

Sunday, December 17, 2006

Masih Mau Jadi Akuntan? Saat XBRL Mendekati Kenyataan

"The effect that XBRL will have on the business community will be more significant than the transition from paper and pencil analysis of financial information to the use of electronic spreadsheets." (Mike Willis, founding chairman of XBRL International and a PricewaterhouseCoopers partner)
***
Sejujurnya cerita soal XBRL ini sudah saya baca sejak tahun 1999 dulu, waktu awal-awal saya kuliah di mana waktu itu dunia sedang 'deman' teknologi informasi dan internet. Dulu saya pikir XBRL ini terus akan berkembang sampai pada masa keemasannya di tahun 2000an ini. Tapi nyatanya, setelah 6 tahun lebih bertualang di dunia ekonomi dan akuntansi, sosok XBRL tidak juga kunjung muncul wujudnya. Hingga suatu saat minggu lalu, saya membaca artikel yang berisi bahwa SEC (Bapepamnya Amerika) sudah bersiap untuk mengadoposi konsep XBRL sepenuhnya menggantikan sistem EDGAR yang sudah lebih dari 25 tahun menyimpan beragam data laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di bursa sama New York (NYSE).
***
Sebenarnya apa sih XBRL itu? XBRL sejatinya adalah akronim dari Xtensible Business Reporting Language. XBRL atau biasa juga disebut dengan pelaporan keuangan universal merupakan format baru laporan keuangan yang menggunakan perintah (tag) yang biasa kita gunakan di internet, sehingga tampilan laporan keuangan tersebut bisa diakses, dianalisis dan dibandingkan dengan lebih mudah. Tambahan lagi, karena XBRL ini dibuat dengan standar perintahyang seragam, maka kita, pembaca laporan keuangan akan dengan mudah membandingkan laporan keuangan perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya. Jika masih bingung, saya berikan ilustrasi sebagai berikut:
roleRefroleURI="http://www.xbrl.org/us/fr/lr/role/IncomeStatement"xlink:type="simple" xlink:href="http://www.xbrl.org/us/fr/gaap/ci/2005-02-28/us-gaap-ci-2005-02-28.xsd#IncomeStatement"

Salah satu tag di atas saya ambil dari laporan keuangan Microsoft yang berbentuk XBRL di database SEC. Jika tag di atas kita impor ke MS Excel, maka akan tampil Income Statement Microsoft dalam bentuk spreadsheet. Sehingga kita bisa mengecek langsung angka di laporan tersebut. Sayangnya, MS Excel kita harus sudah dilengkapi dengan menu tambahan (adds-in) terbaru yang memuat perintah XBRL ini (Excel 2003 sudah mensupportnya), baru kemudian kita bisa tampilkan XBRL tersebut dengan baik.

Tahun ini SEC sudah menyatakan keseriusannya untuk menerapkan konsep XBRL bagi perusahan-perusahaan yang terdaftar di NYSE. SEC menyiapkan dana ratusan juta dollar untuk mendukung proyek 'masa depan' tersebut. Sejauh ini kurang lebih 25 perusahaan sudah secara sukarela menggunakan konsep XBRL dalam laporan keuangannya ke SEC, di antaranya: Microsoft, Pepsi, 3M, Xerox dan HP. Di Eropa sendiri, XBRL sudah mulai diadopsi oleh regulator setempat seiring dengan penerapan standar akuntansi berterima internasional (IAS), tahun lalu. Imbasnya, jika 2 kekuatan utama ekonomi dunia tersebut sudah mulai menerapkannya, maka bukan tak mungkin negara-negara berkembang di kawasan Asia termasuk Indonesia juga akan mulai bersiap-siap menerapkannya.
***
Sejatinya, XBRL tidak hanya menawarkan akses yang lebih mudah bagi investor untuk menganalisis laporan keuangan perusahaan. XBRL ke depannya diproyeksikan untuk bisa mengkombinasikan pelaporan internal dan eksternal secara bersamaan. Artinya, informasi internal seperti kapasitas produksi, lini produk, pangsa pasar, jaringan supplier sampai kepada kepuasan pelanggan akan dipadukan dengan informasi keuangan 'tradisional' yang selama ini disajikan oleh perusahaan setiap periode tertentu (tahunan atau kuartalan). Lebih lanjut, perusahaan akan dituntut untuk memberkan informasi yang 'real time' kepada para investor sehingga ketidaksinkronan informasi (information assimetry) akan bisa dikurangi.

Proyeksi di atas tentu akan menambah beban yang luar biasa berat bagi kita para akuntan dan auditor. Akuntan perusahaan, tentu akan dituntut untuk menyediakan informasi-informasi paling update kepada manajemen untuk kemudian siap disajikan ke investor via XBRL. Hal ini tentu menambah beban kerja para akuntan yang memang selama ini sudah menumpuk. Para akuntan akan mendapat pekerjaan ekstra untuk lebih cepat memberikan informasi ke pasar sekaligus juga teliti dalam memverifikasi informasi tersebut. Keterlambatan dalam memberikan informasi, dibandingkan kompetitor di industri sejenis, tentu akan menimbulkan efek yang negatif di mata investor.

Tidak hanya sampai di situ, para pakar juga masih berdebat tentang perlu tidaknya XBRL diatur oleh standar akuntansi tersendiri, terutama berkaitan dengan jenis informasi apa yang seharusnya diberikan kepada publik. Informasi internal yang berlebihan juga dapat menghilangkan keuntungan kompetitif suatu perusahaan selain juga bisa menimbulkan noise bagi para investor dalam mengambil suatu keputusan investasi.

Beban para auditor juga tidak kalah berat nantinya. Sampai sekarang perdebatan masih terjadi mengenai seberapa besar tanggung jawab auditor terhadap informasi yang diberikan klien-nya. Jika saat ini auditor memberikan assurance kepada laporan keuangan kliennya setiap satu tahun atau satu semester sekali, nantinya, sampai batas mana auditor memberikan assurance nya terhadap informasi yang diberikan klien? Jika auditor tidak memberikan assurance kepada kliennya berkaitan dengan informasi yang 'real time' tadi, bagaimana investor bisa memastikan bahwa informasi yang diberikan manajemen perusahaan tersebut benar?

Angin perubahan sudah bertiup jelas, sampai di mana kita siap untuk mengikuti arah angin tersebut?

Wednesday, December 13, 2006

Pengalaman Belajar di Oz (3): Exam Viewings

Waktu kuliah S1 di Indonesia dulu, saya tidak pernah paham dengan cara penghitungan nilai yang diberikan oleh dosen-dosen saya. Seingat saya, sangat jarang seorang dosen memberikan silabus di awal kuliah, menjelaskan sistem penilaian yang diberikan dan penugasan yang harus diselesaikan. Akibatnya, waktu pengumuman hasil ujian, perasaan yang ada adalah dag dig tak menentu. Saat ujian merasa bisa mengerjakan, tapi pas nilainya keluar hasilnya mengecewakan. Sebaliknya, saat ujian merasa tak tahu apa2, eh dengan gagahnya nilai A atau B yang didapat. Intinya, sistem penilaian ujian waktu aku kuliah dulu benar2 mirip lotere. Jika anda beruntung, anda dapat nilai bagus...jika tidak, siap2 untuk bersumpah serapah.
***
Di kampusku, ada kebijakan exam viewings, dimana mahasiswa diizinkan untuk melihat kertas ujiannya berikut hasil koreksi dosen yang bersangkutan. Di semester 1 lalu aku sebenarnya ingin mencoba pengalaman baru tersebut, tapi sayang waktu itu aku sedang liburan ke Singapura, jadinya aku melewati kesempatan ini. Semester ini aku baru mencobanya.

3 Hari setelah nilai hasil ujian keluar, kami mendapat email dari admin fakultas yang menyebutkan prosedur exam viewings plus attachment form untuk diisi. Form itu salah satunya berisi mata kuliah yang ingin kita lihat kertas ujiannya. Karena penasaran ingin tahu, maka aku memasukkan 4 form untuk masing2 mata kuliah yang aku ambil semester ini.

Exam viewings berlangsung selama 4 jam, dari pukul 2 siang sampai jam 6 sore. Di dalam ruangan sudah ada 2 petugas yang siap membantu. Biarpun mereka cukup bersahabat, namun peraturan untuk masuk ke ruang exam viewings sangatlah ketat. Mahasiswa dilarang membawa masuk tas, handphone, alat tulis dan kalkulator. Hanya mahasiswa saja yang diperkenankan masuk ke ruang tersebut dengan membawa kartu mahasiswa.

Setelah mendapat kertas ujian, saya dipersilahkan duduk di ruangan tersebut. Jujur ini pengalaman pertama saya untuk melihat, bagaimana dosen-dosen di sini memberikan nilai. Gayanya bermacam2, ada yang kasih komentar singkat, tanda tanya sampai corat coret di kertas ujian kita, karena dia mengubah2 nilai yang diberikan. Aku melihat dengan seksama komentar tersebut dan menghitung ulang lagi skor2 yang diberikan, untuk memastikan mereka tidak salah hitung, hehhee.
***
Mayoritas mahasiswa yang exam viewings adalah mahasiswa yang 'bermasalah' dengan hasil ujiannya, antara lain buat mereka yang failed. Penting bagi mereka untuk mengetahui di mana mereka salah dan kenapa mereka bisa failed untuk selanjutnya didiskusikan dengan dosen yang bersangkutan. Semester lalu, ada seorang rekan yang failed di satu mata kuliah, sementara dia berada di semester terakhir. Akhirnya setelah exam viewings dia bisa berdiskusi lebih lanjut dengan dosennya dan diberikan 'supplementary exam' yang akhirnya mampu ia lalui.

Pesan utama yang bisa kita tangkap dari exam viewings ini adalah masalah transparansi nilai. Dosen akan melakukan penilaian secara objektif dan terbuka mengingat semua siswa punya kesempatan untuk melihat dan mendiskusikan hasil penilaiannya. Dengan demikian, di lingkungan pendidikan kita sudah dibiasakan untuk melakukan sesuatunya secara transparan, objektif dan bertanggung jawab. Semoga kelak exam viewings ini bisa juga dilakukan di Indonesia, sehingga tak ada lagi kejutan2 macam lotere apalagi manipulasi nilai.

Korupsi Banyak, Tapi Mana Koruptornya???

Untuk hari antikorupsi sedunia, 9 Desember lalu.
***

Katanya, Indonesia menduduki posisi bawah di ranking negara-negara terkorup di dunia. Kata orang, Indonesia tidak beda dengan negara kleptokrasi alias kaum birokratnya gemar 'menilep' uang rakyat. Kata angin, korupsi sudah mengakar dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia, alias sudah membudaya, sudah menempel di dahi sejak kita lahir. Walhasil, banyak seminar, diskusi, buku-buku, kampanye, tim kerja sampai dengan pernyataan sikap tentang memberantas korupsi. Hasilnya??? Korupsi (katanya) ada, saksi dan tersangka diperiksa, tapi kemudian mereka melenggang bebas. Macam2lah alasannya, ada yang sakit, ada yang dakwaannya lemah, ada yang bebas beneran tidak bersalah sampai ada yang kasusnya dihentikan karena kurang bukti.
***
Memerangi korupsi sama saja dengan memerangi bayangan. Terlihat jelas di depan mata, tapi tak bisa diraba dan dijamah. Padahal komitmen pemerintah untuk memeranginya sudah cukup jelas, antara lain lewat pembentukan KPK dan Timtas Tipikor. Tapi sampai sekarang kedua lembaga tersebut mendapat berbagai pukulan hebat dan cobaan dalam memerangi korupsi di Indonesia. UU tentang pembentukan KPK saat ini sedang dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga praktis nasib KPK saat ini ada di tangan MK. Jika permohonan judicial review dikabulkan maka KPK bisa dipastikan lenyap dari catatan arsip negara. Selain itu kritikan bahwa KPK dan Timtas Tipikor melakukan teknik 'tebang pilih' dalam mengungkap praktik korupsi juga sering dikumandangkan. Kedua lembaga tersebut dituding 'pilih kasih'. Padahal seperti kita ketahui, usaha membongkar praktik korupsi bukanlah perkara yang mudah, sehingga dibutuhkan suatu strategi dan kerja keras dari penegak hukum. Benar atau tidak tudingan tersebut, sudah selayaknya kita memberikan dukungan yang penuh kedua lembaga pemberantas koruptor tersebut.
***
Korupsi bagi beberapa kalangan dicap lebih kejam dari kasus pemboman. Kasus pemboman (Bom Bali misalnya), memang sadis...tapi ia hanya memakan korban di saat kejadian saja. Sementara korupsi, korban yang ditimbulkannya tidak hanya pada saat korupsi itu dilakukan, tetapi juga berimbas hingga beberapa generasi mendatang. Korupsi APBD misalnya. Uang yang seharusnya digunakan untuk subsidi desa tertinggal, pendidikan atau prasarana air bersih tapi dikorup oleh segelintir orang, akan berakibat pada semakin miskinnya desa-desa, minimnya fasilitas pendidikan dan kurangnya air bagi kehidupan masyarakat banyak. Pada akhirnya, generasi yang akan datang juga ikut terkena imbasnya. Untuk itu mari sama2 kita perangi korupsi. Antara lain berusaha menggunakan waktu kita dengan bijak, setiap harinya.

Friday, December 08, 2006

Catatan Seorang Pemula: Minggu Pertama

Nilai 97 dari 100 di mata kuliah Financial Reporting Issues mengantarkan aku bertemu dengan dosennya (Farshid Navissi) untuk mendiskusikan lebih lanjut kemungkinan aku untuk mengerjakan research dissertation di bawah supervisinya. Farshid, demikian ia biasa dipanggil, memiliki ketertarikan di bidang earning quality dan event study. Earning quality merujuk kepada riset yang bertujuan untuk menilai kualitas earning dari suata perusahaan. Seperti kita ketahui, earning perusahaan terdiri dari komponen kas dan akrual, termasuk adanya kemungkinan manajemen untuk melakukan tindakan oportunitistik dengan memasukkan banyak 'noise' di laporan keuangannya (antara lain lewat provisi dan akrual). Contoh area earning quality termasuk earning persistance (seberapa besar komponen dalam earning bisa direalisasikan dalam bentuk cash), earning management (mengatur earning sesuai level yang diinginkan) dan accrual anomaly (dalam kondisi ekstrim di mana perusahaan yang memiliki tingkat akrual sangat tinggi atau sangat rendah, dapat memberikan abnormal return untuk periode tertentu).
Event study merujuk kepada area riset di mana periset melihat keterkaitan antara suatu event dengan reaksi investor di pasar modal. Sebagai contoh, adalah riset tentang reaksi pasar saat pengumuman earning suatu perusahaan atau reaksi pasar terhadap Undang-undang pajak yang baru atau Undang-undan anti-monopoli misalnya.
***
Lalu aku akan ambil yang mana?
Jujur saja, aku sebenarnya ingin ambil riset tentang audit, tapi karena 2 calon supervisorku (yang juga menjadi dosen di kelas auditku), termasuk lumayan sibuk, maka niat ini sedikit aku urungkan. Diskusi dengan Farshid kemarin mengarah kepada kemungkinan riset di bidang event study mengingat waktu risetku yang lumayan terbatas dan load yang sesuai dengan bobot kredit thesisku. Farshid menyarankanku untuk melihat regulasi yang ada di US atau Australia untuk kemudian dilihat reaksi pasar terhadap regulasi tersebut. Seminggu ini aku benar2 sibuk cari berbagai bahan, tapi lagi2 keterbatasan ruang diskusi dan pengetahuan membuatku sedikit lambat untuk menemukan topik yang cocok.
***
Ada beberapa topik yang sejauh ini sudah aku lihat, berikut listnya.
1) UU tentang penurunan tax rate untuk pendapatan dividen untuk individual. Topik ini cukup menarik, tapi efeknya aku lihat lebih besar kepada individual dibandingkan kepada perusahaan. Bisa sih untuk dilihat bagaimana investor melihat hal ini, karena dengan demikian beban pajak investor dari dividen akan berkurang. Di Nz, dividen sudah tidak dipajaki lagi, sementara di Oz, mereka telah mengenakan dividend imputation system, di mana investor Oz tidak mendapat potongan pajak dividen lagi (karena sebenarnya pendapatan mereka sudah 'terpotong' lewat corporate tax).
2) Bankruptcy Act 2005. Intinya adalah pembatasan debitor untuk menyatakan dirinya bangkrut. Tujuannya agar kreditor tidak serta merta kehilangan uangnya jika debitor menyatakan dirinya bangkrut. Hal ini diharapkan dapat memperlancar perekonomian US. Sayangnya, bankruptcy act ini lebih fokus kepada invidual dan industri menengah ke bawah, sehingga aku gak terlalu yakin seberapa besar efeknya terhadap pasar modal secara umum.
3) PCAOB-ini lembaga yang bertugas mengawasi kantor akuntan publik yang melakukan audit terhadap perusahan2 yang listed di US. Berbagai setting aku temukan di sini, antara lain, efek perusahaan akuntan publik yang sudah teregister di PCAOB terhadap harga saham perusahaan yang diauditnya, selain itu aku juga ingin lihat efek standar audit yang diterapkan PCAOB (sebelumnya standar audit ditetapkan oleh AICPA-IAI-nya Amerika) terhadap kualitas audit. Aku juga tertarik untuk melihat efek hasil inspeksi PCAOB pada the Big Four dan harga shaam perusahaan yang diaudit the Big Four. Tapi gak tahu kenapa aku agak ragu dengan setting yang ada, sepertinya harus berdiskusi dulu dengan Farshid.
4) Beberapa section di SOX yang kontroversial. Antara lain tentang kewajiban perusahaan untuk mempublish 'material weakness' di internal control system-nya dan keharusan untuk melaporkan informasi penting (material) secara cepat dan tepat kepada pasar (via K8 form). Masalahnya, karena SOX sudah ada sejak 2002an, kemungkinan besar topik2 di atas sudah pernah diriset, sehingga tidak terlalu update lagi. Alternatifnya, dengan setting yang sama aku mungkin bisa melihat kondisi di Oz.
5) IAS 39 soal disclosure and recognition of derivative instrument (option, forward dan hedging). Sebelumnya derivative instrument cukup hanya di 'disclose' di laporan keuangan (walaupun ada beberapa bank yang me-recognize-nya). Nah, aku ingin lihat setelah adanya keharusan untuk me-recognize derivative instrument apakah ada perubahan reaksi pasar terhadap hal tersebut (value relevance analysis). Sayang beribu sayang, kemungkinan besar yang menerapkan IAS 39 adalah bank saja, tidak termasuk financial instiution, sehingga aku akan menemui masalah pada ukuran sampel (di Oz, bank yang listed tidak cukup banyak).
***
Jadi sampai hari ini, aku masih bingung soal topik mana yang layak untuk didiskusikan dengan Farshid dan kemudian bisa aku riset. Rencananya Senin nanti aku akan bertemu, tapi setelah dipikir2 daripada nanggung dan mentok diskusinya, lebih baik waktu konsultasinya diundur saja hingga Kamis atau Jumat minggu depan. Doakan semoga bisa dapat ide yang cemerlang buat diriset.

Caulfield, Postgraduate Lounge buliding H 6.53pm

Monday, November 27, 2006

Kebijakan Regulator dan Riset Audit di US: Air dan Minyak

Ada 2 teori utama dalam bidang akuntansi: positive dan normative accounting theories. Yang pertama berusaha menjelaskan dan memprediksi trend praktik akuntansi, sementara yang kedua berusaha untuk memberikan saran atau ide baru terhadap praktik yang ada. Dengan kata lain, positive accounting theory bersifat deskriptif dan prediktif sementara normative accounting theory lebih bersifat terapan.

Ada satu bagian menarik dari paper yang ditulis oleh Francis (2004) "What do we know about audit quality?", yaitu tentang keterkaitan antara kebijakan regulator di Amerika dengan riset audit yang dilakukan oleh para akademisi di sana. Francis berargumen bahwa sampai saat ini kebijakan yang diambil oleh regulator sama sekali tidak mengindahkan atau mempertimbangkan hasil riset yang telah dilakukan oleh para akademisi. Padahal, kualitas riset para akademisi di sana sudah tidak diragukan lagi kualitasnya baik dari segi metodologi maupun research setting-nya.

Contoh dari ketidaksinkronan antara kebijakan dan riset audit di US, seperti di jelaskan Francis, antara lain berkaitan dengan (1) pelarangan pemberian jasa non audit oleh auditor kepada klien-nya dan (2) rotasi audit partner setiap 5-7 tahun sekali. Regulator berkeyakinan bahwa pemberian jasa non audit oleh auditor kepada kliennya dan masa audit partner yang panjang (long audit partner tenure) akan mempengaruhi independensi auditor dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas audit. Seperti kita tahu, kebijakan tersebut merupakan reaksi dari regulator

Tapi, hasil riset audit menyatakan hal yang lain. Riset yang dilakukan untuk melihat apakah pemberian jasa non audit oleh auditor kepada kliennya akan mempengaruhi kualitas audit (antara lain diukur dari earning management, kemungkinan dikeluarkannya going concern opinion saat perusahaan kesulitan keuangan) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan di antara keduanya. Sementara berkaitan dengan long audit partner tenure dan menurunnya audit quality , tidak pula ditemukan bukti yang kuat di antara keduanya (Carey and Simnett, 2006).

Ada beberapa alasan mengapa riset audit memiliki pengaruh yang lemah terhadap kebijakan regulator di US. Dari sisi akademisi, antara lain riset yang dilakukan oleh para akademisi di sana kurang memperhatikan keterkaitan antara hasil riset dengan implementasi kebijakan, dengan kata lain, terlalu mengedepankan positive accounting theory dibandingkan normative accounting theory-nya. Alasan lainnya adalah bahwa banyak akademisi ternama di sana muncul dari 'geng' Chicago school of economics yang terkenal kritis terhadap pemerintah, sehingga cenderung bias. Alasan terakhir adalah berkaitan dengan tidak independennya para akademisi. Mereka cenderung digunakan sebagai apologist bagi kegagalan yang dilakukan oleh The Big Four, karena memang kebanyakan research funding mereka didanai oleh perusahaan2 tersebut. Dari sisi regulator, penyusunan kebijakan yang dilakukan lebih mengarah kepada political process dibandingkan scientific process, sehingga tak heran hasil riset yang dilakukan oleh para akademisi, tidak menjadi pertimbangan mereka.

Bagaimana di Indonesia?
Seiring dengan semakin banyaknya masukan dari para akademisi yang digunakan dalam menyusun sebuah kebijakan terutama di Australia, Canada dan UK, menerbitkan harapan bahwa hal tersebut juga mungkin bisa dicapai di Indonesia kelak. Apalagi jika memang tradisi diskusi intelektual dan bertambahnya generasi muda yang mengenyam pendidikan tinggi, sudah mulai meningkat di Indonesia. Hal ini yang menggugah semangat saya untuk lebih bisa memandang suatu proses atau fenomena dari sudut yang lebih scientific dibandingkan hanya berdasarkan dugaan atau anekdot belaka. Setidaknya, kita memberikan kontribusi pada bangsa atas apa yang kita miliki.

Sunday, November 26, 2006

Kenapa Ada Audit? Penjelasan dari Sisi Penawaran

Jasa audit merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Sisi penawaran dalam jasa audit direpresentasikan oleh adanya industri audit yaitu: kantor akuntan publik. Pertanyaannya, bagaimana riset di bidang auditing menjelaskan sisi penawaran jasa audit?

Ada beberapa area riset yang muncul dalam rangka menjelaskan fenomena yang ada di audit terutama dari sisi penawaran. Berikut ringkasan dari area studi-studi tersebut.
1) Struktur Pasar Jasa Audit
Jasa audit 10-15 tahun yang lalu didominasi oleh 8 akuntan publik besar dunia (the big eight), setelah adanya merger di antara mereka, kantor akuntan publik dunia pun menjadi 5 (the five 5), sampai kemudian menjadi 4 (the big four) pasca kolapsnya Arthur Andersen karena kasus Enron di US. Studi menunjukkan bahwa pasar audit yang didominasi oleh beberapa perusahaan tersebut ternyata tidak beroperasi secara oligopoli (Yardley et al 1992). Bukti yang menunjukkan hal tersebut antara lain karena adanya ketidakstabilan dalam pangsa pasar jasa audit (market share perusahaan2 besar tersebut berubah-ubah dari waktu ke waktu) dan fenomena lowballing (adanya diskon terhadap fee audit dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan2 audit tersebut).
2. Audit Fee Model
'Dewa' yang pertama kali memformulasikan faktor-faktor yang mempengaruhi fee audit adalah Simunic (1980). Ia membuat model yang menyatakan bahwa fee audit ditentukan oleh besar-kecilnya perusahaan yang diaudit (client size), risiko audit (atas dasar current ratio, quick ratio, D/E, litigation risk) dan kompleksitas audit (subsidiaries, foriegn listed). Model inilah kemudian yang dijadikan acuan untuk melihat fenomena di seputar penawaran jasa audit.
3. Audit Fee Premium
Studi yang dilakukan antara lain melihat apakah perusahaan audit besar (the big eight) mendapatkan fee audit lebih besar (faktor brand name) dibandingkan dengan perusahaan non big eight. Juga dilihat apakah perusahaan audit yang merupkan industry specialist (faktor keahlian audit di industri tertentu) mendapatkan fee audit yang lebih tinggi dibandingkan non industry specialist. Craswell et al (1995) menemukan bahwa faktor brand name (big eight vs non big eight) memberikan kontribusi fee audit sekitar 30% bagi perusahaan audit besar di pasar audit Australia, sementara industry specialist auditor mendapatkan premi sekitar 34% dibandingkan non industry specialist auditor di Australia. Singkatnya, studi tersebut menemukan keterkaitan antara premi fee audit dengan brand name dan industry specialisation.

Bagaimana di Indonesia?
Ketiga area studi di atas saya yakini bisa dilakukan di Indonesia. Menarik untuk disimak hasil studi tersebut di Indonesia, karena menurut pendapat saya, kompetisi pasar audit di Indonesia juga sangat ketat dan tidak hanya didominasi oleh 'Big Four' saja. Alasan saya, karena pasar audit di Indonesia masih cost focus dibandingkan brand/quality focus. Menarik juga untuk dilihat apakah fee audit auditor di Indonesia juga mencerminkan tingkat kompleksitas audit dan risiko yang ada.

Sunday, November 19, 2006

Kenapa Ada Audit? Penjelasan dari Sisi Permintaan*

Banyak orang yang berpikir bahwa audit terhadap laporan keuangan perusahaan timbul, karena ada keharusan dari regulator atau dengan kata lain disyaratkan peraturan tertentu. Namun, bukti empiris menunjukkan bahwa tuntutan dari regulator bukanlah faktor yang menentukan kebutuhan akan audit. Chow (1982) mendokumentasikan bahwa pada tahun 1926 sebelum adanya peraturan yang mengharuskan perusahaan melakukan audit terhadap laporan keuangannya, 82% dari perusahaan yang listed di bursa saham New York, secara sukarela telah menerbitkan laporan keuangan yang telah diaudit. Lalu, faktor apa yang menentukan kebutuhan akan audit?

Agency Theory
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dipaparkan lewat agency theory. Teori ini menyatakan bahwa dalam pengelolaan perusahaan, selalu ada konflik kepentingan antara (1) Manajer dan pemilik perusahaan (2) Manajer dan bawaahan-nya dan (3) Pemilik perusahaan dan kreditor sehingga dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tadi. Dalam lingkup perusahaan, aktivitas pihak-pihak tadi dinilai lewat kinerja keuangannya (laporan keuangan). Lebih lanjut dalam agency theory, pemilik perusahaan membutuhkan auditor untuk memverifikasi informasi yang diberikan manajemen kepada pihak perusahaan dan sebaliknya manajemen memerlukan auditor untuk memberikan legitimasi atas kinerja yang mereka lakukan (dalam bentuk laporan keuangan), sehingga mereka layak mendapatkan insentif atas kinerja tersebut. Di sisi lain, kreditor membutuhkan auditor untuk memastikan bahwa uang yang mereka kucurkan untuk membiayai kegiatan perusahaan, benar-benar digunakan sesuai dengan persetujuan yang ada, sehingga kreditor bisa menerima bunga dan prinsipal dari pinjaman yang diberikan.

Bagaimana mengukur keterkaitan antara agency theory dan kebutuhan akan audit? Senkow et. al (2001), melakukannya dengan cara melihat faktor-faktor apa saja yang menentukan keputusan untuk mempertahankan jasa audit untuk perusahaan-perusahaan privat di Kanada(tidak listed di bursa saham) yang tidak lagi diwajibkan untuk melakukan audit menurut peraturan. Logikanya, saat perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melakukan audit terhadap laporan keuangannya, tentu mereka akan memilih untuk tidak menggunakan jasa audit dengan beragam alasan. Ternyata dari 201 perusahaan privat besar yang diteliti, 77% dari perusahaan tersebut tetap memilih untuk mempertahankan jasa audit walaupun peraturan memperbolehkan mereka untuk tidak menggunakannya. Alasan utama dibalik keputusan tersebut adalah (1) karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki perjanjian pinjaman dengan kreditor dan (2) tingginya persentase fee audit terhadap pendapatan perusahaan. Alasan yang pertama mengacu kepada agency theory yang mana kreditor tetap membutuhkan laporan keuangan auditan sebagai syarat peminjaman. Sedangkan alasan yang kedua mengacu kepada asumsi bahwa semakin tinggi persentase fee audit terhadap pendapatan perusahaan, maka semakin dipandang menguntungkan/bermanfaat proses audit tersebut.

Information Theory
Alasan tentang adanya audit bisa juga dijawab dengan information theory. Teori ini menyatakan bahwa informasi auditan sangat bermanfaat bagi keputusan investasi. Oleh karena itu, permintaan akan adanya audit timbul dari kebutuhan akan adanya informasi yang berkualitas, karena hal tersebut pada akhirnya dipercaya akan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, studi Blackwell et al (1998) mendokumentasikan keterakitan antara teori ini dengan permintaan adanya audit. Blackwell et al (1998) memeriksa keterkaitan antara penggunaan jasa audit oleh perusahaan privat yang meminjam dana dari bank dengan rendahnya bunga pinjaman yang dikenakan terhadap perusahaan tersebut. Lebih lanjut, Blackwell et al, menemukan bahwa perusahaan privat yang meminjam dana dari bank tersebut mendapatkan pengurangan tingkat bunga pinjaman sebesar 25 basis poin (0.25 %) dari setiap 28-50% fee audit yang mereka keluarkan. Hal tersebut menandakan bahwa bank memberikan diskon bunga pinjaman kepada perusahaan yang memilih untuk menggunakan laporan keuangan auditan dibandingkan perusahaan yang tidak melakukannya.

Insurance Theory (Hypothesis)
Teori ini mejelaskan bahwa auditor memberikan suatu bentuk proteksi atau asuransi kepada investor. Sehingga apabila terjadi kegagalan dalam audit, investor memiliki hak untuk melakukan klaim kerugian terhadap auditor. Teori ini bisa didukung oleh fakta bahwa hak-hak investor sangat dilindungi sekaligus asumsi bahwa auditor memiliki banyak uang (deep pocket) untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh kegagalan audit mereka. Studi Menon dan Williams (1994) menjelaskan lebih lanjut adanya teori ini. Mereka memeriksa keterkaitan antara bangkrutnya Laventon & Howarth (LH) di tahun 1990, sebuah kantor akuntan publik terbesar ke tujuh di Amerika, dengan jatuhnya harga saham perusahaan-perusahaan yang diaudit oleh LH. Mereka menemukan dalam periode 19-20 November 1990 di mana LH menyatakan kebangkrutannya, saham klien-klien perusahaan tersebut mengalami negative abnormal return yang signifikan dibandingkan dengan saham-saham perusahaan lainnya. Ini menunjukkan bahwa pasar merespon negatif berita yang menyatakan bahwa LH mengalami kebangkrutan dan salah satu alasan respon negatif tersebut adalah karena LH tidak dapat lagi memberikan asuransi atau proteksi terhadap klien-klien yang mereka audit.

Bagaimana di Indonesia?
Menarik untuk dilihat lebih lanjut tentang bagaimana ketiga teori tersebut menjelaskan fenomena permintaan audit di Indonesia, karena ada kemungkinan hasil studi di atas hanyalah country specific result. Untuk agency theory, mungkin membutuhkan regulation setting yang sama dengan kondisi studi di Kanada. Dan untuk hal tersebut, saya belum bisa menemukan jawabannya. Sementara untuk insurance hypothesis, saya rasa akan sangat sulit untuk diobservasi, karena masih kurangnya perangkat hukum yang melindungi investor dari kerugian karena informasi yang menyesatkan. Tambahan lagi, sangat jarang ada perusahaan akuntan publik yang bangkrut karena terlalu banyak menerima klaim hukum dari pihak-pihak yang dirugikan. Saya rasa hanya information theory, saja yang kemungkinan besar bisa diobservasi di Indonesia. Namun demikian diperlukan data dan kerja sama dengan pihak kreditor (bank) untuk melaksanakan penelitian tersebut.

*Untuk mereka yang menghabiskan waktunya menjadi auditor dan para akuntan yang mempersiapkan data buat auditor.

Saturday, November 18, 2006

Transaksi Spin-off Lapindo: Ada Udang Di Balik Lumpur?

Panasnya lumpur Lapindo ternyata mulai menyentuh diskusi seputar corporate finance, setelah sebelumnya berputar di sekeliling isu corporate social responsibility, yang mana Lapindo telah gagal memberikan tanggung jawab sosial yang memadai terhadap lingkungan sekitar. Hal ini terkait dengan rencana spin off (pemisahan anak usaha lewat penjualan kepemilikan) Lapindo Brantas Inc dari perusahaan induknya PT Energi Mega Persada (EMP) Tbk.

Dijual US$2
Seperti diberitakan berbagai media, PT EMP berencana akan menjual kepemilikan mereka di Lapindo kepada Lyte Ltd dengan harga US$2. EMP melepas Lapindo melalui dua anak usahanya yaitu Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd.

Lyte Ltd sendiri termasuk perusahaan kelompok Group Bakrie yang berdomisili di Kepulauan Jersey (Inggris) dan didirikan 17 Januari 2006. Perusahaan ini sendiri sedang dalam proses ganti nama menjadi Bakrie Oil and Gas Ltd serta memiliki modal dasar 10,000 poundsterling.

Transaksi tersebut kemudian mengundang banyak kontroversi. Tak heran jika Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), otorita yang mengawasi perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Jakarta (tempat di mana EMP terdaftar) mulai melakukan investigasi terhadap transaksi tersebut. Seperti apa kontroversi dan dampak dari transaksi tersebut?

Ingin ‘Cuci Tangan’?
Pertama, berkaitan dengan motivasi transaksi spin off tersebut. Ada skenario ‘cuci tangan’ tanggung jawab Lapindo terhadap persoalan banjir lumpur yang ditimbulkannya. Dengan menjual Lapindo ke Lyte Ltd maka beban tanggung jawab pengelolaan lumpur panas tersebut bisa berpindah ke perusahaan baru tersebut. Lapindo yang tadinya disokong oleh PT EMP dalam mendanai beban kerugian yang timbul, kini berganti ‘donatur’.

Masalahnya, seberapa bonafide Lyte Ltd untuk mendukung Lapindo dalam menanggung biaya kerugian yang ditimbulkan banjir lumpur di Sidoarjo? Jika ditengok dari modal Lyte Ltd yang hanya 10,000 pounds dukungan keuangan perusahaan pengambil alih Lapindo tersebut layak untuk dipertanyakan.

Lebih lanjut, jika transaksi tersebut benar-benar terjadi, maka dampak selanjutnya bisa cukup ‘mengerikan’. Lapindo yang sudah keluar jutaan dollar untuk kompensasi musibah lumpur tersebut bisa saja mempailitkan dirinya sendiri dan kemudian menyerahkan tanggung jawab ganti rugi kepada induknya, dalam hal ini Lyte Ltd. Lalu karena Lyte memiliki modal yang sangat terbatas, perusahaan tersebut juga bisa menyatakan dirinya bangkrut.

Karena keduanya adalah perusahaan perseroan terbatas (PT), maka kewajiban mereka terhadap pihak ketiga juga terbatas, sehingga jika mereka bangkrut, maka klaim kerugian lumpur panas Lapindo tidak bisa dibebankan lagi. Lebih mengkhawatirkan lagi, Lyte Ltd berada di kepulauan Jersey (Inggris) yang jurisdiksinya tidak berada di bawah Indonesia, sehingga segala tuntutan hukumnya harus melewati arbitrase internasional.

Seterusnya, jika memang benar ada motivasi Lapindo untuk cuci tangan seperti skenario di atas, maka pihak yang harus menanggung akibatnya adalah Pemerintah dan rakyat kebanyakan tentunya. Atau seperti kata peribahasa, Lapindo yang memakan nangkanya, pemerintah dan rakyat Indonesia yang terkena getahnya.

Mengapa $US2?
Kedua, tentang kelayakan transaksi spin off tersebut. Berdasar penilaian Trustel Capital selaku penilai independent yang ditunjuk, nilai wajar kepemilikan Kalila dan Pan Asia (sebagai anak perusahaan EMP yang menguasai Lapindo) per 30 Juni 2006 adalah sebesar negative $US 22,815 juta dan negative $US208,005 ribu. Atas dasar penilaian tersebut, maka Lapindo hanya dijual sebesar $US2 kepada Lyte Ltd. Pertanyaannya, sudah wajar dan tepatkah penialaian tersebut? Atau harga transaksi tersebut hanya merupakan ‘akal-akalan’ EMP saja aga mereka tetap bisa melakukan divestasi tanpa persetujuan pemegang saham minoritas?

Hal tersebut bisa dilakukan karena memang mekanisme RUPS juga tidak disyaratkan, karena transaksi dengan total nilai US$ 2 dolar atau setara dengan Rp 18.300 pada kurs Rp 9.100 jauh di bawah ketentuan pasar modal. Nilai penawaran US$ 2 juga masih jauh dari 10 persen total ekuitas dan 20 persen total penerimaan EMP.

Kepentingan EMP
Ketiga, kaitan antara transaksi spin-off dan kinerja EMP. EMP melepas Lapindo dengan tujuan agar kinerja keuangannya tidak terbebani Lapindo, mengingat EMP adalah perusahaan publik di BEJ yang performa bisnisnya terus menerus dipantau para investor. Namun demikian, semua pihak yang memeriksa EMP dan Lapindo hendaknya juga waspada dengan risiko di balik transaksi spin off ini. Salah satunya masalah pengakuan biaya (expense recognition). Harus dapat diidentifikasi secara jelas biaya Lapindo yang dibebankan sebelum perusahaan tersebut dilepas. Jangan sampai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh EMP untuk menangani masalah lumpur Sidoarjo kemudian dibebankan saja kepada Lapindo untuk kemudian kerugiannya ditransfer kepada pemilik baru.

Skenario di atas tidak mustahil dilakukan, karena Lapindo digunakan sebuah perusahaan khusus penanggung kerugian, sehingga pada akhirnya EMP terbebas dari beban biaya lumpur Lapindo dan bisa tetap menunjukkan performa keuangan yang baik. Sebagai catatan Enron menggunakan teknik ini dalam menyembunyikan hutang2 yang membelitnya.

Sebagai tambahan, keinginan EMP untuk memperbaiki kinerja keuangannya dengan menjual Lapindo mungkin juga terkait dengan rencana mergernya dengan Bumi Resources Tbk, perusahaan grup Bakrie yang juga bergerak di bidang energi.

Perkembangan Terbaru
Rencana penjualan Lapindo ke Lyte Ltd akhirnya diubah dengan jalan menjualnya ke pihak Freehold Group Limited, perusahaan investasi yang berbasis di British Virgin Island. Freehold diklaim sebagai perusahaan yang tidak memiliki afiliasi ke Bakrie Group dan dikenal sebagai perusahaan yang lihai memperbaiki kinerja perusahaan yang terpuruk. Anehnya, walaupun Freehold sudah mengambil alih Lapindo dari EMP, salah satu grup Bakrie yaitu Minarak Labuan masih membantu Freehold untuk menyediakan dana penanggulangan lumpur Lapindo sebesar $106 juta. Perkembangan terbaru ini makin menguatkan praduga ‘ada udang di balik lumpur' dari proses penjualan Lapindo.

Sebagai penutup, kita berharap agar Bapepam memiliki kecermatan dan kehati-hatian dalam menghadapi transaksi ini, mengingat begitu banyak kepentingan dan skenario yang ada di dalamnya. Pada akhirnya kita semua ingin agar siapapun pihak yang terlibat dalam bencana semburan lumpur Lapindo, harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap masalah tersebut. Jangan sampai pihak-pihak tersebut ‘cuci tangan’ dari masalah dan membiarkan rakyat kebanyakan menanggung akibatnya.
***
Sumber: detikfinance.com, tempointeraktif.com, majalahtrust.com, arthanusa.com

Friday, November 03, 2006

Pengalaman Belajar di Oz (2): Dag Dig Dug Exam.

Photobucket - Video and Image Hosting
Macem-macem sindrom yang aku alami sebelum ujian berlangsung. Dari yang gak bisa tidur, gak nafsu makan, mual2, sakit perut pengen ke toilet, kebelet pipis terus, sampai badan menggigil kedinginan karena grogi.
***
Alasan Sindrom

Risiko jadi mahasiswa lagi (master) adalah harus siap menghadapi tumpukan tugas2 (assignments) dan ujian semesteran (sit-in examination). Sebagian rekanku cukup sibuk menghadapi tumpukan tugas2, baik itu berupa report, essay atau research project, tanpa harus memikirkan ujian semesteran. Sebaliknya di fakultasku, tumpukan tugas2 dan exam menyumbang proporsi yang hampir sama untuk nilai akhir kita (50-50 or 60-40 biasanya).

Nah, karena aku setiap semesternya mengambil empat mata kuliah, maka dalam 2 semester ini, aku sudah menghadapi 8 kali sindrom ujian yang sudah aku sebutkan di atas. Kenapa bisa kena sindrom begitu? Buatku, macam2 alasannya. Pertama, karena memang mata kuliahnya sulit buat dihadapi. Ini kasus yang terjadi waktu aku di semester 1 di mana aku "terpaksa" mengambil 3 mata kuliah finance. Karena mata kuliahnya sulit, otomatis waktu belajar juga harus lebih banyak dialokasikan (secara akuntan harus belajar ilmu financial analyst!). Parahnya, semakin banyak belajar, malahan semakin banyak yang lupa dan rasanya gak pernah siap buat menghadapi ujian.

Kedua, karena diri sendiri yang gak disiplin. Kebiasaan sistem belajar "kebut semalam ato SKS" (istilahnya di sini cramming), membuat aku baru konsen belajar kalo sudah 1 atau 2 hari sebelum ujian. Celakanya, begitu hari H ujian semakin dekat, aku terlambat menyadari bahwa materi yang harus dicover masih banyak. Jadinya sindrom ujian tadi langsung muncul.

Ketiga, masalah bahasa. Ini masalah yang sampai sekarang belum bisa aku pecahkan. Kadang saat belajar, aku mengerti inti dan ide dari bahan yang aku pelajari. Eh, dodolnya, begitu duduk pas ujian, semua topik yang sudah aku pahami tadi tiba2 menjadi sangat sulit untuk aku tulis dalam rangakaian jawaban in english. Jadinya jawabanku serba carut marut dan gak fokus, semua karena masalah bahasa tadi. Terus? Solusi sementara waktu adalah dengan cara menghafal ide inti topik yang aku pelajari plus kata2 penting di ide inti tadi guna mempermudah aku dalam menuangkan ide2 tadi ke dalam kertas ujian. Repot gak sih? hihihi.

Keempat (wuih kok banyak amat), adalah masalah menulis. Aku paling males suruh nulis. Zaman komputer gini, sudah pasti semuanya serba diketik di komputer, eh...giliran ujian, tulisan tangan kita yang harus jadi andalan. Jangan bayangin nulis jawaban ujian itu cuma dalam 4-5 lembar kertas yah, jawaban ujianku itu bisa sampai 15 lembar halaman kertas dengan tulisanku yang relatif kecil2. Alasannya memang karena soal2 ujianku jarang (bukan berarti gak ada) yang sifatnya open question (definisi, menyebutkan perbedaan atau hal2 yang umum) tetapi cenderung ke analisis ide2 dan elaborasi ide-ide perkuliahan ke kasus2 yang diberikan di soal ujian. Pernah satu mata kuliah, bahan ujiannya tentang mendesain propsal untuk projek riset. Mau tahu berapa lembar yang aku tulis? 8 lembar aja tuh....Kebayang kan stress-nya gimana?

Suasana Ujian

Ujianku kebanyakan di laksanakan di Caulfield (cuma sekali di Exam Hall kampus Clayton), tepatnya di arena pacuan kuda (racecourse) Caulfield. Jadi lokasi ujian bukanlah di ruang perkuliahan macam aku dulu di UGM. Ada 2 jadwal ujian setiap harinya, pagi mulai pukul 09.30 dan siang mulai pukul 02.30. Ruangan ujian sendiri baru dibuka sekitar 10 menit menjelang ujian. Tiap peserta duduk di 1 meja dan 1 kursi khusus. Jarak antara depan dan belakang hanya dipisahkan meja saja, sementara jarak kiri dan kanan kira2 setengah meter.

Selama mengikuti ujian, kami dilarang membawa handphone di saku (kalo ketahuan akan didenda $300 di tempat) dan handphone harus dimatikan. Di atas meja kita, hanya boleh ada alat tulis, kalkulator dan student ID. Kotak pensil atau cover kalkulator sama sekali gak diperbolehkan. Karena ujiannya rata2 3 jam maka kita diperbolehkan taruh minum dan sedikit makanan kecil di meja. Tas harus letakkan di bawah dan harus jauh dari jangkauan tangan kita. Untuk kalkulator, fakultasku hanya memperbolehkan beberapa jenis kalkulator aja yang bisa dibawa ke ruang ujian (a.l yang aku pake: Sharp EL735). Semua jenis kalkulator tadi tidak bisa menyimpan memori rumus2, makanya boleh dipake.

Kertas jawaban ujiannya berbentuk boklet buku. Ada lembaran yang bergaris untuk nulis jawaban dan ada lembaran kosong untuk corat-coret (gak ada kertas burem yey di sini...:p). Sesuai dengan kebijakan blind marking, kebanyakan mata ujian melarang kita untuk nulis nama di kertas jawaban. Jadi yang ditulis cuma nomor mahasiswa dan nomor kursi kita. Tambahan lagi, soal ujian gak boleh dibawa pulang. Jadi harus dikumpulkan bersama2 dengan boklet jawaban. Reseh gak sih? Oya, sebelum memulai ujian, kita juga dikasih waktu 10 menit untuk membaca soal dan itu gak mengurangi waktu pengerjaan ujian kita (2-3 jam).

Bagaimana dengan pengawas ujiannya? Wuih, resehnya minta ampun. Aku gak tahu sih mereka dari mana, apakah staf admin Monash atau pengawas dari luar Monash, tapi yang pasti galaknya minta ampun. Semasa ujian kita gak boleh bergerak yang aneh2. Kalo mau buka tas untuk ambil sesuatu, kita harus angkat tangan, untuk minta izin dari pengawas. Begitu juga kalo minta kertas tambahan atau minta izin ke toilet. Pokoke mau ngapain aja harus minta izin dulu ke mereka.

Para pengawas itu juga gak pernah diam di tempat. Mereka senangya berkeliling di antara para peserta dan memelototi meja kita satu persatu. Gak kalah serunya, setiap beberapa waktu, ada petugas pengawas yang masuk ke toilet terus meriksa2 toilet. Sepertinya mereka khawatir kita bakal lupa nge-flush toilet sehabis pipis...:p.

Aku punya pengalaman menarik dengan pengawas ujian. Pernah suatu ketika aku ditegur pengawas sampai 4 kali dalam 1 kesempatan ujian. Selain pengawasnya yang luar biasa reseh ada juga sih kontribusi kegrogian aku waktu itu. Jadi, pas waktu 10 menit untuk baca soal di mana kita dilarang menulis apa pun juga, aku secara reflek udah megang pena (padahal gak nulis apa2 loo..). Eh si pengawas langsung datengin aku dan bilang aku gak boleh nulis apa2 selama reading time. Kali kedua pas aku pengen pipis. Dasar udah kebelet, aku langsung ngacir aja ke toilet (biasanya juga gak papa sih...), eh selesai balik dari toilet, si pengawas (yang sama) langsung bilang kalo aku harus angkat tangan dulu minta ijin buat pergi ke toilet. Kali ketiga, pas aku ingin keluar dari ruang ujian sebelum waktu ujian selesai. Dasar keburu2 aku gak angkat tangan, tapi langsung kabur aja. Eh langsung ditanyain deh ama si pengawas (yang sama). Kali terakhir, pas lagi jalan keluar ruang ujian. Sambil jalan aku masukin alat tulis, botol minum en kalkulator ke tasku, eh si pengawas (lagi2 yang sama) datengin lagi aku lagi dan nyuruh masukin barang2 tadi di luar ruang ujian aja, dengan alasan aku bakal seliweran dan takut menganggu peserta yang lain (wtf???). Dasar dudull...
***

Sunday, September 24, 2006

Apakah Transfer Duo Argentina ke West Ham Bagian Dari Praktik Money Laundering?

Photobucket - Video and Image Hosting

Hasil 'investigasi' kecil2an beberapa waktu yang lalu. Kebetulan aku pernah nulis paper soal money laundering.
***
Beberapa jam sebelum deadline transfer pemain Liga Inggris, 30 Agustus 2006 berlalu, duo pemain timnas Argentina - Carlos Teves dan Javier Mascherano, dari klub Brasil Corinthians, dipastikan pindah ke West Ham, klub papan tengah Liga Primer Inggris. Hampir semua penggila bola di seluruh dunia tidak percaya dengan berita tersebut. Reputasi dan bakat kedua pemain yang menjadi tulang punggung Argentina di Piala Dunia 2006, begitu menjulang tinggi, sehingga hampir mustahil klub medioker macam West Ham bisa merekrut mereka. Tambahan lagi, detail transfer mereka pun sangat tertutup, tidak ada ekspos sama sekali. Spekulasi pun bermunculan berkaitan dengan transaksi tersebut, salah satunya adalah skema pencucian uang atau money laundering.
***
Kisah transfer kontroversial ini bisa dirunut dari cerita transfer mereka sewaktu di Corinthians Brasil. Akhir tahun 2004, tim papan atas Brasil tersebut mengumumkan bahwa mereka telah mengizinkan masuknya investasi asing ke klub tersebut. Investasi tersebut masuk via MSI (Media Sports Investment Ltd) pimpinan Kia Joorabchian-pengusaha Iran yang berbisnis di London. Selanjutnya bisa ditebak, layaknya Real Madrid di Liga Spanyol dan Chelsea di Liga Inggris, Corinthians mulai membelanjakan lebih dari $50 juta dollar untuk membeli pemain2 bintang Amerika Selatan. Para bintang itu antara lain: Carlos Tevez (harganya $20 juta dollar), Mascherano, Carlos Alberto, Marinho, Marcelo Mattos, Hugo, Sebastian Dominguez, Gustavo Nery sampai Roger dari Benfica. Ambisi Kia dengan MSInya cukup kencang: mewujudkan Manchester United atau Real Madrid ala Brasil. Tenar, kaya dan mendapat banyak trofi kesuksesan.
***
Siapa Kia dan MSInya? Media Brasil, yang tak kenal lelah melakukan investigasi, menemukan keterkaitan Kia dengan Boris Berezovsky, miliarder asal Rusia kroni pemerintahan Boris Yeltsin dulu. Boris Berezovsky dikenal sebagai pengusaha bertangan 'kotor' dengan banyak melakukan praktik2 bisnis ilegal dan bahkan dituduh sebagai penyebab kolapsnya perekonomian Rusia. Boris saat ini tinggal di London dan menjadi buruan pemerintahan Vladimir Putin. Sebagai catatan beberapa waktu lalu, di SBS Australia, sempat ada dokumentasi soal Boris ini, sayang aku waktu itu gak perhatiin, karena waktu itu memang belum tahu siapa dia sebenarnya. Lebih lanjut, Kia menyangkal keterkaitan dirinya dan MSI dengan Boris dan bisnis2nya, walaupun cukup banyak bukti2 yang membuktikan keterlibatan mereka berdua, termasuk alamat kantor mereka di London yang berdekatan dan deal2 bisnis yang kerap mereka lakukan. Bagaimana dengan pemerintah Brasil? Sayangnya, di negara yang birokrasinya masih korup, keterlibatan2 tersebut dan indikasi adanya money laundering menjadi tidak jelas lagi, karena sesuatu bisa diselesaikan lewat 'amplop coklat' .
***
Lalu di mana skenario money laundering-nya? oke, mari kita lihat. Dengan asumsi keterlibatan Kia dan Boris cukup dekat, yang artinya MSI dan Kia, dibiayai oleh uang dari Boris yang diklaim sebagai uang illegal oleh pemerintah Rusia, maka mereka coba 'mencuci' uang hasil kejahatan tersebut di Amerika Selatan (via Corinthians) untuk kemudian dikirimkan masuk lagi ke Eropa secara legal. Seperti analisisku tentang money laundering di sini, proses pencucian uang ada 3 tahap: Placement, Layering dan Integration.
- Tahap placement atau penempatan- dilakukan dengan cara mengeluarkan uang sebesar $50 juta via Kia dan MSInya untuk membeli saham Corinthians dan pemain2 top Amerika Selatan.
- Tahap layering - atau menutupi uang kejahatan - dengan jalan berinvestasi di klub sepakbola Corinthians dengan berbagai visi yang disebutkan sebelumnya. Dengan kata lain uang ilegal tadi 'dicuci' di bisnis sepakbola dengan klub sepakbola menjadi 'mesin cuci' nya sehingga uang kejahatan tadi bercampur dengan uang legal yang ada.
- Tahap integration - atau menyatukan uang hasil kejahatan dan dijadikan uang yang legal. Tahap ini dilakukan dengan cara mentransfer duo pemain Argentina dari Corinthians ke West Ham. Uang transfer pembelian mereka tersebut kemudian masuk ke rekening MSI (sebagai pemegang saham mayoritas Corinthians) di Eropa, sehingga sekarang uang itu kemudian menjadi bersih.
***
Singkatnya, jika para kriminal menyimpan uang $50 juta hasil kejahatan mereka di bank, jelas dengan mudah uang mereka akan diinvestagasi. Tapi dengan membelanjakan uang tersebut untuk membeli pemain sepakbola seharga $20 juta dan kemudian menjualnya lagi sebesar $10 juta (di Eropa misalnya), maka bisa dikatakan mereka sudah bisa mendapat keuntungan yang luar biasa besar, mengingat pengawasan praktik money laundering yang semakin ketat dewasa ini, membuat para kriminal sulit bergerak.
***
Informasi terbaru menyatakan bahwa Kia dan MSInya juga memiliki saham di West Ham (sekitar 15%), sehingga tak heran mereka begitu mudah 'memindahkan' Tevez dan Mascherano ke sana. Dengan kondisi tersebut, maka dipastikan bahwa tahap 'layering' dan 'integration' masih berlangsung. Skenario selanjutnya, Tevez dan Mascherano akan dijual dari West Ham ke klub raksasa Eropa yang lain (dan ini sangat mudah, karena sudah banyak klub yang ngantri untuk memakai jasa mereka), untuk kemudian MSI menerima uang dari klub-klub tersebut secara 'bersih'. Dan di-sini, proses money laundering-nya berakhir (dengan sukses). Perkembangan terbaru, menunjukkan bahwa Kia dan MSInya akan membeli saham West Ham secara penuh. Hal ini semakin mengisyaratkan bahwa West Ham akan dijadikan 'mesin pencuci' uang kedua setelah Corinthians.
***
Benar atau tidak analisis di-atas memang masih dapat dipertanyakan. Namun setidaknya, bukti-bukti menunjukkan adanya keterkaitan antara Kia dan MSInya, Corinthians, West Ham dan transfer duo Argentina- Tevez dan Mascherano sebagai bagian dari skema pencucian uang, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Sebagai tambahan, saat ini ada 2 klub Liga Inggris yang sudah dimiliki bilyuner Rusia; Chelsea dan Portsmouth, sementara West Ham sedang dalam proses dan Arsenal pernah didekati (walaupun kemudian ditolak mentah2). Sepakbola saat ini memang tidak melulu tentang gol, kemenangan dan piala, tapi sudah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Ironisnya, sepakbola yang kental dengan nilai sportivitas rawan terkotori praktik2 bisnis yang ilegal, macam money laundering ini. Semoga analisis di atas tidak sepenuhnya benar, sehingga kita masih bisa tersenyum menyaksikan Liga Inggris di layar kaca.
***
Sumber: sambafoot.com, tribalfootball, the sun.
Foto dari: www.telegraph.co.uk

Sunday, September 10, 2006

Akademisi vs Praktisi: Biarkan Tetap Apa Adanya

Sebuah otokritik atas pemikiranku dulu yang meyakini bahwa akademisi yang baik adalah akademisi yang mampu memberikan gambaran dunia nyata/praktik ke pada para mahasiswanya tidak melulu hanya gambaran teoritis belaka.
Disclaimer:
- tulisan ini lumayan panjang, jadi luangkan waktumu dulu sebelum membaca, biar idenya bisa ditangkap dengan jelas.
- cukup banyak istilah2 teknis di sini, yang mungkin di kesempatan lain akan dibahas satu persatu.
- kalo udah selesai dibaca, mohon komentarnya dari rekan2 sekalian. trims.

***
Berangkat dari rasa frustrasi saat mendapati kenyataan bahwa pengetahuan yang didapat di bangku kuliah ternyata sama sekali tidak banyak membantuku untuk bertahan di dunia kerja, aku (dan beberapa rekan2), kerap menyuarakan tuntutan bagi dunia pendidikan (baca universitas) untuk segera mereformasi sistem mereka. Lebih spesifik lagi, kami berharap agar dunia pendidikan mampu memperkecil jurang perbedaan antara apa yang diajarkan di bangku kuliah dengan kenyataan di dunia praktik. Dengan kata lain, selain memberikan teori2 dasar pengetahuan, sangat esensial juga bagi para dosen, untuk memberikan gambaran penerapan teori2 tersebut di dunia praktik. Di dunia akuntansi misalnya, jika bicara tentang penerapan konsep proses pelaporan keuangan, tidak ada salahnya sang dosen menggambarkan seperti apa proses pelaporan keuangan di perusahaan A, B atau C di Bursa Efek Jakarta misalnya. Jadi teori dan praktik selalu ada keterkaitannya.
***
Ternyata, keyakinan di atas, perlahan2 terkikis saat aku kuliah memasuki semester 2 di Oz ini. 2 semester yang aku lalui benar2 telah menyadarkan aku. Semester 1 kuliahku, begitu lekat dengan teori2 plus praktik2 di dunia nyata, sementara paruh 2 kuliahku saat ini lebih cenderung ke teori2 dan riset.
Apa yang membuatku sadar adalah kenyataan bahwa para praktisi adalah orang yang2 pragmatis, opportunistik dan cenderung subjektif. Para praktisi tidak peduli dengan teori yang ada di-jagat, yang terpenting adalah bagaimana mencapai tujuan (pragmatis), selalu memanfaatkan celah dan kesempatan yang ada untuk kepentingan pribadi atau kelompok (opportunis) dan selalu memandang sesuatu dari sudut pandang kepentingannya (subjektif).
Di sisi yang lain, para akademisi adalah sekelompok orang yang idealis, deskriptif dan lebih objektif. Akademisi cenderung untuk 'bermain' di-landasan teori, asumsi ceteris paribus tapi lebih objektif dalam memandang suatu fenomena.
***
Keberadaanku sebagai seorang (mantan) praktisi yang (akan) menjadi seorang akademisi, akhirnya menemukan sebuah titik keseimbangan kesadaran. Para akademisi akan selalu mencoba menjelaskan fenomena yang dihadapi para praktisi, sementara para praktisi akan memakai hasil penjelasan fenomena tsb (baca: hasil riset) sebagai bagian pengambilan keputusan mereka. Tidak ada dikotomi, yang ada hanyalah interdependensi dan simbiosa. Masih bingung? berikut contoh2nya (lagi2 dalam rerangka dunia akuntansi lagi tentunya, hehe).
1a. Praktisi
Para akuntan di-perusahaan, sangat lazim melakukan apa yang kita kenal sebagai income smoothing atau earning management- yang artinya mencatat atau menunda variabel2 pendapatan atau biaya, sehingga pada akhirnya laba (profit) perusahaan berada di level yang dikehendaki. Tindakan mencatat atau menunda variabel2 tadi tentunya masih dilakukan dalam rerangka yang diperbolehkan oleh Standar Akuntansi. Variabel2 tadi istilah teknisnya adalah accrual (artinya transaksi2 yang non kas-seperti pembelian secara kredit, penjualan secara kredit, hutang, piutang etc). Rekan2ku yang bekerja sbg akuntan pasti mahfum dengan hal ini. Sebagai contoh, perusahaan biasanya mencatat provisi biaya tertentu bulan ini (bukan bulan depan), karena ada kemungkinan penjualan bulan depan akan turun. Dengan demikian laba bersih bulan ini dan bulan depan tidak berbeda jauh, sehingga manajemen level atas bisa melihat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik.
1b. Akademisi
Para akademisi kurang tertarik untuk mengetahui cara2 apa yang dipakai oleh perusahaan untuk melakukan income smoothing atau earning management, karena hal tersebut memang sulit untuk diobservasi. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui motivasi dibalik earning management dan bagaimana mengukur/mengetahui earning management. Sehingga para akademisi berusaha merumuskan model (antara lain Jones-1991) untuk mengetahui ada atau tidaknya earning management. Lebih lanjut, Dechow & Dichev (2002), melihat bagaimana mengukur earning quality dari suatu perusahaan. Semakin besar indikasi earning management-nya (terutama dengan adanya discretionary accruals), maka semakin rendahlah earning quality-nya. Sebagai informasi, investor akan lebih senang kepada perusahaan yang earningnya (baca labanya), memiliki tingkat cash flow yang tinggi pula.
2a. Praktisi
Zaman di Ernst & Young (EY) dulu, aku ditempatkan di grup yang khusus menangani audit di bidang perkebunan (plantations) dan manufaktur. EY berpikir bahwa dengan menempatkan para staff-nya di perusahaan2 yang ada di industri yang sama, akan membantu para staff tersebut beradaptasi dengan bisnis klien2 mereka. Dengan kata lain, pemahaman auditnya akan lebih baik sehingga pekerjaanya pun bisa lebih berkualitas.
2b. Akademisi
Para akademisi, merespon fenomena tersebut dengan melakukan banyak riset tentang industry specialized auditor/audit firm-yang dalam dunia praktik di atas adalah pengelompokan auditor berdasarkan jenis industri perusahaan yang diaudit. Balsam et al (2003) menemukan perusahaan yang diaudit oleh industry specialized auditor memiliki earning quality yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak spesialis. Carcelo and Nagy (2003) berpendapat bahwa penggunaan industry specialized auditor meningkatkan kualitas voluntary disclosure. Dunn and Mayhew (2004) melaporkan bahwa industry specialized auditor menyebabkan fraudulent financial reporting lebih rendah.
***
2 contoh di-atas menunjukkan bahwa akademisi dan praktisi hidup saling berdampingan satu sama lain. Akademisi selalu berusaha untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia praktik sementara Praktisi selalu menge-explore hasil riset para akademisi untuk praktik yang lebih baik di dunia nyata, dan seterusnya. Di dalam satu kasus di mana seorang akademisi adalah juga seorang praktisi, maka ia akan menjadi orang yang kaya ilmu dan fenomena, layaknya sumber mata air yang tak pernah kering.
Sebagai penutup, satu caveat layak aku sampaikan disini. Bahwa akademisi dan praktisi itu menempati 2 tempat yang terpisah dan saling berhubungan itu telah aku akui. Namun demikian, tetaplah menjadi kewajiban bagi seorang akademisi untuk memberikan bekal kepada anak didiknya tentang kenyataan yang akan dihadapi mereka kelak di dunia nyata. Dengan kata lain, berusaha untuk memperkecil culture shock si anak didik di dunia kerja nantinya, sebab pada akhirnya, kebanyakan siswa akan berkarier menjadi para praktisi.

Salam.

Tuesday, July 11, 2006

Pengalaman belajar di Oz (1): Internet Rulz!

Tidak banyak orang Indonesia yang mampu kuliah S1 di sebuah universitas dan bahkan lebih sedikit lagi orang yang dapat kesempatan melanjutkan kuliah S2nya di luar negeri. Dan jika saya termasuk orang yang sangat sedikit itu, maka hanya rasa syukur kepada Allah yang bisa saya panjatkan. Berbagi pengalaman kepada banyak orang adalah salah satu wujud rasa syukur tersebut.
***
Cerita pengalama dimulai dengan kagumnya aku masuk dalam lingkup kampus yang serba terhubung satu sama lain via koneksi internet. Monash, memang memberkan citra tersendiri berhubungan dengan yang namanya teknologi informasi dalam perkuliahan. Walaupun sudah kenal jaringan TI selama berkantor di EY, UNDP dan UNICEF, tapi kesan 'canggih' tetap tidak bisa aku buang dari benak

Untuk penunjang komunikasi belajar mahasiswa-nya, Monash University memberkan account email khusus dengan kuota tertentu. Mereka menyebutnya my.monash account. Di my.monash account ini, mahasiswa terhubung dengan banyak menu yang menunjang perkuliahannya. Antara lain menu WES (Web Enrolment Study), link untuk mendaftarkan mata kuliah yang kita ambil-sehingga kita tidak perlu antri di kampus, cukup login via internet. Selain WES ada juga fasilitas Monash Market place, link di-mana mahasiswa saling bertukar informasi dan transaksi soal akomodasi, buku2 perkuliahan, barang2 elektronik dan rumah tangga dan banyak lagi. Dengan kata lain mymonash account ini, sudah jadi link wajib yang harus diakses setiap harinya, termasuk fasilitas emailnya yang biasa kita pakai sebagai akun 'resmi' komunikasi dengan dosen dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Bicara soal fasilitas kuliah pasti tidak bisa dilepaskan dari yang namanya perpustakaan. Kampus Monash tersebar di beberapa lokasi, kalo gak salah 5 lokasi di Australia (Berwick, Gippsland, Clayton, Caulfield dan Peninsula) dan 2 di luar Australia (Afsel dan Malaysia), begitu pula dengan lokasi perpustakaannya. Namun demikian tidak akan jadi masalah bagi kita jika ingin meminjam koleksi buku yang ada di kampus lain (dalam Australia). Biasanya hanya butuh 1 hari untuk mendaptkan buku yang kita inginkan dari kampus lain dan semuanya bisa dilakukan dengan hanya duduk di depan komputer!.

Itu dari sisi perpustakaan. Dari sisi proses belajar mengajar, fasilitas internet juga memegang peranan penting di Monash. Untuk memperlancar proses perkuliahan, Monash menyediakan MUSO (Monash University Study Online) sebagai intranet. Di-sini, kita bisa mengakses mata kuliah yang kita ambil di-semester yang bersangkutan plus link-link lainnya seperti: course outline, presentation schedule, discussion board, important link, reading material sampai ke pengumuman2 terbaru soal course yang kita ikuti. Idealnya, sebelum masuk kuliah, mahasiswa 'wajib' mengakses MUSO, kemudian nge-print course material, baca dan kemudian datang ke kelas untuk berdiskusi dengan dosen kita.

Masih banyak contoh2 lainnya soal manfaat internet bagi sistem pendidikan di Monash yang mungkin akan dibahas dalam kesempatan yang lain. Tapi paling tidak cerita di-atas bisa jadi gambaran tentang betapa pentingnya teknologi internet saat ini. Dulu zaman kuliah di UGM, aku pernah menulis sebuah artikel tentang peningkatan kualitas belajar mahasiswa akuntansi dengan fasilitas intranet dan web-system. Zaman itu, aku hanya bisa membayangkan dari text book dan artikel yang aku baca. Sekarang? syukur alhamdulillah sudah bisa merasakannya sendiri. Semoga kelak, kampus2 di Indonesia juga bisa maju seperti kampus di sini. Amien.

Wednesday, June 28, 2006

A Report Paper: Money Laundering



This posting is based on my individual paper in "Financial Market and Long Term Funding" - semester 1 course. The main ideas is focused on the roles of supranational bodies in fight against money laundering practices, 40 recommendations from FATF on Money Laundering as well as its implementation in US and Hungary. The article is a report paper where I got 17 out of 20.
***
Introduction
The globalisation of the world’s financial system has produced many impacts. However, like a double edge sword, the impacts are not only in a positive way but also in a negative. One of the latter is money laundering practice. Money laundering is considerably causing serious macro economic effects like distortion in the interest rates and exchange rate volatility (Quirk in Russel, 2004). Others believe that money laundering may create fiscal problems since they tend to destabilise money demand, not only in domestic but also in global economy. Considering such threats, international community now has taken some initiatives to combat against it and still maintain high commitment to continue the crusade.
The initial section of this article highlights the process and areas of money laundering. The second part observes the 40 recommendations against money laundering issued by FATF (Financial Action Task Force). The following section examines policies and practices which have been implanted in two international countries, the United States of America and Hungary, together with the areas of success achieved and the current deficiencies. The final section concludes.
Meaning
There are many definitions of money laundering but simply put “…money laundering is the process of integrating illegally obtained funds into the legal system so that they can be accessed freely” (Russel, 2004). In other words, the term ‘money laundering’ simply refers to the efforts of criminal organisation to “wash” dirty money through a legal business system, so that the illegal money could be combined with the legitimate income of business.
Process
According to Cooper & Deo (2006), money laundering is achieved through three stages: (a) Placement (b) Layering and (c) Integration. Placement refers to the disposition of illegal money, either through the local economy or foreign market. The purpose of layering is to cover up the source of money through complex transactions that will effectively successfully camouflage and eliminate the audit evidence. The final stage is frequently established through integrating the illegal money to finance a domestic business or by using the money as a deposit to obtain loan then transferred back to the bank owned by the money launderer.
Areas
Financial Action Task Force (FATF) - an inter-governmental body whose works on development and promotion of national and international policies to combat money laundering, in their recent report ‘Money Laundering & Terrorist Financing Typologies 2004 – 2005’ outlines 4 areas of money laundering that are subject to international attention; first is alternative remittance system (ARS), second is insurance and money laundering vulnerabilities, the third is money laundering associated with human being trafficking and illegal immigration and the fourth is money laundering and terrorist financing trends and indicators (FATF, 2005).


The Role of Financial Action Task Force (FATF)
in Fight against Money Laundering

FATF
The follow-up action from the Viena convention 1998 was the establishment of the Financial Action Task Force (FATF) in September 1989 in Paris during the G-7 summit by members of 15 industrialized countries. The list currently includes 29 countries and territories and 2 regional organizations: European Commission and Gulf Co-operation Council. The objective of the task force is to examine the trends on money laundering and fight against the growing threat of money laundering by setting up international cooperation in policing, preventing and punishing money laundering activities (FATF, 2006). In April 1990, FATF published 40 recommendations that address different areas of money laundering. Later on, these recommendations were revised in 1996 and 2003.


40 Recommendations
FATF has issued the 40 recommendations against money laundering practice around the globe. As an illustration of the acceptability of the FATF guidelines, it is approximately 130 jurisdictions representing 85 per cent of the total world population and about 90-94 percent of world economic outputs have made at least a political commitment to implement such recommendations in combating the dirty money (Shehu, 2005).

Basically 40 recommendations are categorised into four main parts: Part one outlines recommendation 1 – 3 as regards to the legal systems to curb money laundering activities. It focuses on the application of the Viena and the Palermo Convention. Part two provides 22 recommendations that specify the roles and obligations to be taken by financial institutions and non financial business and professions to prevent money laundering and terrorist financing. Part three comprises 9 recommendations for the necessary measures in institutional and system for combating money laundering. Part four stipulates recommendation 35 – 40 in order to strengthen the international cooperation.

The implementation of those recommendations is monitored by FATF using a two-step process: self assessment done by individual countries in the form of a report and an evaluation by the FATF through site visit by a team of expert. Based on the assessment FATF then taking proactive measure by identifying “non cooperative” regions. Furthermore, these regions are then under certain action by the FATF body. The action may involve suspension from membership, sanctions or persuasion. Based on past experience, such actions has been successful in creating pressure and dramatic reforms to support the anti-money laundering campaign more attainable.

For this discussion the United States of America (US) and Hungary will be our main focus. There are some reasons why the policies and practices in US and Hungary should be discussed. As many people knew, the US is the central of global economy where the latest innovations on financial aspect have been evolved. With their stringent law, strong effort and well-experienced anti-money laundering agencies, the US represents a good example for a continuous war against money laundering. By contrast, Hungary was the first of the former Warsaw Pact countries of Eastern and Central Europe to adopt regulations against money laundering (Tóth & Gál, 2004). Therefore, Hungary provides an ideal example of a country which just started the campaign against such practice.

U.S Practices
The US government started the campaign with the establishment of the Bank Secrecy Act (BSA) in October of 1970. Senguder (2002) believes that the BSA plays a crucial part of the United States’ war against money laundering since it governs the monitoring process on the bank transactions. The BSA authorized the Secretary of the Treasury to require banks to report cash transactions over $10,000 to the Department of the Treasury. The Bank Secrecy Act (BSA) also requires any transaction exceeding $10,000 to be reported in the form of Currency Transaction Report (CTR). This requirement not only for banks but also applied to credit unions and other financial institutions. Moreover, the banks are also asked to report any suspicious transaction in the form of Suspicious Activity Report (SAR). This form is not only targeted to the traditional financial institution but now has expanded to the non-traditional financial institution such as currency dealers, casinos, mutual funds, insurance companies as well as hedge funds.

In 1986 ‘The Money Laundering Control Act’ was enacted where one of the important provisions is that the money laundering is a federal crime. Afterwards, the government continue to support a comprehensive cooperation among law enforcement authorities, federal agencies, banking and professionals as well as the Treasury Department. In 1990, they formed Financial Crime Enforcement Network (FinCEN) in order to provide intelligent source for domestic and international financial crimes, including money laundering.

Nowadays, the US is not only fighting domestic money laundering practice but has expanded to the international efforts. The efforts include proposing “International Money Laundering Act”, releasing anti-money laundering strategy, signing several multilateral agreements on money laundering investigation as well as strengthening the cooperation with multinational agency.

The Success Achieved and Current Deficiencies
The success achieved from such numerous efforts is still in progress. Between 1987 and 1996 a total of 77 million currency transaction report were filed, in which 3000 reports lead to money laundering cases where 580 under convictions (Bauer and Ullman in Russel, 2004). One may argue that the number is insignificant; however, we can make an educated guess that without such efforts, the number of money laundering case would be higher. One of The drawbacks of this campaign is about the compliance cost. Bank and financial institution often complaint on the excessive compliance cost and conflicting privacy of their customers in which created a burden for them (Bauer and Ullman in Russel, 2000).

Hungary Practices
In 1994 Hungarian Parliament passed Act IX about money laundering prevention as well as the revision of Penal Code 303 to take into account the definition and sanction of money laundering. Additionally in 2000 Hungary committed itself to fight against money laundering with the establishment of Act CI of 2000. From the time on, the war against money laundering has just began. Nevertheless, such efforts were not enough to convince the international financial organisations. In 2001, Hungary has put on the FATF’s blacklist of countries failing to cooperate. The rationale was because Hungary still has a policy to allow the opening of bank account that payable to the bearer as well as allowing withdrawing money from any existing account without any identification (Tóth & Gál, 2004).
In response to the situation, the government and legislative passed the Act LXXXIII of 2001 stipulating various restrictive actions against money laundering and terrorism. As Tóth & Gál (2004) outline, the legislation attempted to address the problem and weaknesses found by the FATF in the following ways: by making impractical to open a savings account without identification as well as in opening circulate multiple bonds, the requirement to make a custom declaration and identification details for those who crossing the border into the country carrying money to the value of one million forints and a restricted policy in opening currency exchange services in which only credit banks and their agency allowed to do so. Those prompt efforts had brought Hungary being removed from FATF’s list of countries failing to cooperate. Additionally, Hungary has updated the legislation with the introduction of Act XV of 2003 in order to strengthen the existing legislation.

The Success Achieved and Current Deficiencies
To sump up the Hungary’s success to prevent money laundering, FATF noted that over 90 per cent Hungary’s anonymous saving deposits have been turned into named accounts and states that Hungary’s has high level of cooperation with them. However, they also recognized some problems in the implementation. Tóth & Gál found at least two current deficiencies. First is concerning with cross-border money laundering. As Hungary is bounding in the European Union system, the cross-border capital inflow and outflow are inevitable. Difficulties were raised since the fact that different countries have different regulations governing crimes on money laundering. Secondly, is the objection from business and market sectors because the obligation to report such suspicious transaction has put them in a difficult situation – one part, they has to report to authorities but they could infringe their client interest and privacy or on the other side, they may breach the law and face the risk of being prosecuted.


Further Recommendations
The fight against money laundering requires greater coordination and cooperation of intelligence, law enforcement work, amongst countries in the world. Therefore one of the suggestions is to improve the coordination and cooperation among global communities. It is also imperative for the communities to implement the anti-money laundering commitments such as the 40 recommendations by FATF, Viena Conventions and Basel Declarations.
Moreover, in some countries like in the US, money laundering monitoring activities is involving millions of suspicious reports. Consequently, special attention should be addressed to improve the effectiveness of the process. This may include the implementation of neural system network or sophisticated information technology to crack down the flow of dirty money particularly in wire transfers transaction. Lastly, in an almost boundless world, it is also important for law enforcer to enhance monitoring of cash at the cross-country border since the criminals still use such conventional method to launder their dirty money.
***

Thursday, May 04, 2006

Parmalat: When the Giant Milk Got Drunk



1) The following article is taken from my assignment in Financial Statement & Reporting Analysis subject. I acknowledge the outstanding contributions of Arif Birowo, Catur Budi Wibowo and Irwan Hardiyono on this "high marked" paper. Well done guys!
2) For complete version of this paper which includes the company background, good governance issues, internal and external auditors issues as well as the impact on financial analyst/analysis, please send email to me via markv_bommel@yahoo.co.uk
***
The Underlying Issues
According to AASB (Australian Accounting Standar Board) 101 paragraph 13: “A financial report shall present fairly the financial position, financial performance and cash flows of an entity. Fair presentation requires the faithful representation of the effect of transactions, other events and conditions in accordance with the definitions and recognition criteria for assets, liabilities, income and expenses set out in framework”. So, it is clear that company has to present its economic transactions on a fair and faithful practice. However, in Parmalat that was not the case. Melis and Melis (2005) indicates that Parmalat falsified the accounts of their financial reporting both asset and liability side to manage their financial positions and performance. In other words the nature of the issue on Parmalat case is about the fraudulent accounting practices which have violated both fair and faithful presentation of financial reports.
One of the fraudulent practices was regarded with forged depository accounts. Hamilton (2005) describes that Bank of America (BoA), New York branch informed Grand Thornton, auditors of Parmalat’s subsidiary in the Caymand Island, that it did not have an account in the name of Bonlat on 17 December 2003 and denied authenticity of a document dated 6 March 2003 that certified the existence of securities and liquidity amounting EU 3.95 billion. On the other hand, Delloitte & Touche, chief external auditor of Parmalat, was relying heavily on Grant Thornton report which accepted a verification letter, seemingly from Bank of America, confirming that Bonlat held EU 3.95 billion in cash and investment in an account at the bank. Later, Tonna Fausto, former CFO, confessed that he had faked BoA documents.

In liabilities accounts, US Security Exchange and Commission (2004) believed that Parmalat Finanziaria (Parmalat’s holding company) had understated its reported debt of €14.3 billion as opposed to €6.4 billion reported as of 30 September 2003. it seems that Parmalat Finanziaria applied various strategies to understate its debt, including: (a) removing approximately €3.3 billion of debt held by one of its nominee entities; (b) recording approximately €1 billion of debt as equity through fictitious loan participation agreements; (c) improperly eliminating approximately €300 million of debt associated with a Brazilian subsidiary during the sale of the subsidiary; (d) mischaracterizing approximately €300 million of bank debt as inter-company debt, thereby inappropriately eliminating it in consolidation; (e) eliminating approximately €200 million of Parmalat S.p.A. payables as though they had been paid when, in fact, they had not; and (f) not recording a liability of approximately €400 million associated with a put option and (g) creating revenues through fictitious sales to its subsidiaries.
Such fraudulences were stimulated by lack of good corporate governance practices as well as external auditor independence. Concerning lack of governance practices, the major shareholders in Parmalat represented in Board of Director would cause conflict of interest between shareholder and management. As a result Parmalat’s board of directors did not safeguard minority shareholders since they are dominated by the Tanzi family. Moreover, Parmalat’s board of statutory auditors was composed by three members dominated by Tanzi family, which leads to a conflict of interest situation.

The other factor which greatly affect to fraudulent accounting practices in Parmalat is the independency of external auditor. Melis (2005) points out that Parmalat was audited by 3 auditors in the last two decades before collapsed which are Hodgson Lamndau Brands (1980-1989), Grant Thorthon (1990-1998) and Deloitte and Touche (1999-2002). However, the president and partner of Grant Thornton that dealt with Parmalat had worked for Hodgson Landau Brands until 1989. Even though Grant Thornton had been replaced by Deloitte and Touche as chief auditor, and Grant Thornton continued to audit Parmalat’s off-shore subsidiaries after 1998 including Bonlat Financing Corporation where the forged depositary account revealed.

Issue Impacted on the Company’s Profitability, Financial Stability and Share Price
Parmalat and its misleading financial information were trying to cover up their real condition, but in fact the company faced bankruptcy and insolvency. The picture of the scale of Parmalat’s misreporting based on the PwC investigation (Hamilton, 2005) as follows:
- 2002 revenues had been overstated by €1.5bn (€6.2bn vs €7.7bn reported). It had been marked up by 24%.
- 2002 EBITDA had been overstated by €0.6bn (€0.3bn vs €0.9bn reported). It had been marked up by 200%.
Those overstated revenues wereas caused at least by creating fictitious onal revenue through sales toby its subsidiaries. Moreover those sales would be transferred or sold to nominee entities moreover in order to avoid unwanted scrutiny due to aging of the receivables. those sales would be transferred or sold to nominee entities.

From those figures we can infer that the revenues and EBITDA are not as high as stated in the financial reporting. As a result, the company’s profitability was highly impacted by the issues.
Furthermore, concerning the financial stability, these fraudulent accounting practices had direct impact to the company’s ability to meet their short term and long term obligations that led to insolvent declaration by the court of Parma on 27 December 2003.
Regarding the company’s share price, we can see the major impact of the scandal in the following graph, which shows a substantial decrease to the lowest price before it was suspended by CONSOB.

Final Outcome Resulting From the Issue
As a result of being recovered by the Italian Government due to the vast company’s role in economics and social environment, the extraordinary administrators of new Parmalat intends to restructure the group of Parmalat in order to make them survive. The restructuring plan was started with the negotiation process with the creditors and Italian government and then followed by a series of restructuring actions that will be done in a period of 4 years since 2004 to 2007, comprising industrial aspect, financial aspect and company’s control structure. As stated in the Restructuring Plan (June, 2004), the related action plans can be described briefly as follows:
1. Industrial aspect
The outline Plan aims to position Parmalat as one of the world’s leading players in the high added value foods sector, and to concentrate its activity on beverages (milk and fruit juice) and milk related products..
2. Financial aspect (Debt Restructuring)
The method that is currently used for the debt restructuring is a “debt for equity swap” method, with creditors receiving shares that would be tradable on a regulated exchange.
3. Company’s control structure
The plan will lead to the creation of strong and efficient corporate control structures, the strengthening of the Group’s management and the introduction of international best practice corporate governance standards.
By doing the continuous restructuring actions, Parmalat Group can survive and avoided from being bankrupt. Currently, after being re-listed in October 2005, just almost 2 years after its shares were suspended by Milan Stock exchange, the company is struggling to earn its going concern.
***

Monday, April 10, 2006

Saatnya Bersuara Lebih Lantang...

Pergumulan akademik dalam beberapa bulan terakhir ini telah terasa begitu padat di-benakku. Ingin rasanya aku menuangkan dalam baris-baris tulisan pendek, hingga kelak suatu saat bisa aku kenang. Atas dasar ini, aku memutuskan untuk membikin satu blog lagi yang isinya "berbeda" dari blog aku sebelumnya. Blog sebelumnya adalah blog pribadi yang berisi tentang curahan hati, cerita keseharian, cinta, ketakutan dalam hidup, semangat serta asa dalam keseharianku. Rasanya sudah saatnya ada sebuah blog berbeda yang berisi tentang ide-ide baru di dunia akademik-ku selama ini.
Akhirnya, lahirlah blog ini..."gatosoideas"...media tempat aku belajar menulis, berargumentasi sederhana, kepedulian terhadap nasib bangsa dan postingan tulisan2 bermutu yang aku dapat dari milis2 sekitar. Jangan terlalu banyak berharap dengan blog ini, secara aku masih belajar dalam menulis. Tapi yang pasti, nikmati saja...^_^

Caulfield 10.39/11 April 2006