Friday, August 17, 2007

FAQ: Krisis Subprime Mortgage

Kebetulan baru lihat liputan krisis ini di DWTV. Penjelasannya menarik dan gampang diikuti. Gak ada salahnya dibagi di sini. Selamat membaca.
Apa itu subprime mortgage?
Subprime mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang ‘miskin’ Amerika. Orang ‘miskin’ yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki rating kredit buruk – antara lain para penunggak tagihan kartu kredit dan tagihan kredit kendaraan bermotor. Bisa dikatakan subprime mortgage adalah KPR bagi wong cilik di Amerika.

Mengapa ada subprime mortgage?
Kita bicara hukum permintaan dan penawaran di sini. Orang-orang ‘miskin’ di Amerika sama halnya dengan orang kebanyakan, punya impian untuk memiliki rumah sendiri, sementara bank-bank konvensional yang ada, banyak yang takut melihat rekam jejak kredit mereka. Di lain sisi, perusahaan kredit perumahan (mortgage company), melihat mereka sebagai peluang bisnis yang perlu digarap. Akhirnya, perusahaan kredit perumahan tadi datang dengan segepok uang tunai, lalu lantas mengucurkan kredit rumah kepada mereka.

Bagaimana Perusahaan Kredit Perumahan beroperasi?
Perusahaan kredit perumahan ini sebagian dananya didapat dari pinjaman dari pihak ketiga dalam jangka waktu pengembalian yang pendek (1-5 tahun). Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan kredit jangka panjang yang bisa berkisar 10-20 tahun. Pendeknya, ada financing mismatch di sini.

Selanjutnya, perusahaan kredit perumahan juga berbisnis via margin penjualan mortgage backed securities atau efek beragun aset (EBA). EBA merupakan kumpulan kredit-kredit yang kemudian dijual kepemilikannya kepada investor. Dalam kaitannya dengan EBA yang berasal dari subprime mortgage, investor mendapatkan bukti kepemilikannya dalam bentuk saham yang diback-up oleh properti yang diagunkan dalam proses subprime mortgage tadi. Karena EBA yang berasal dari subprime mortgage ini cukup berisiko, maka return EBA ini juga tinggi. Return EBA didapatkan dari cicilan pembayaran kreditor-kreditor subprime mortgage – yang mana seperti disebutkan sebelumnya adalah orang-orang ‘miskin’ di AS. Oya, EBA ini di AS dan Australia ada pasarnya tersendiri. Jadi ada pembeli, penjual dan mekanisme harganya tersendiri. Selanjutnya, karena EBA tipe subprime mortgage ini berkarakteristik high risk high return, maka cukup banyak investor hedge fund dan investment bank yang meminatinya. Hedge Fund sendiri terdiri kumpulan dana investor raksasa yang investasinya lintas negara dan cenderung beraksi spekulatif.

Bagaimana subprime mortgage terjerembab krisis?
Gampang saja. Karena kreditor subprime mortgage adalah orang-orang pendapatannya pas-pasan maka kemampuan pembayaran cicilannya juga sangat lemah Sehingga saat para kreditor tersebut tidak mampu membayar cicilan kreditnya, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage pun ambruk. Nilai jualnya jadi terkoreksi. Otomatis, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage juga ikutan merugi. Parahnya lagi, banyak perusahaan kredit perumahan yang juga bangkrut, karena tidak ada putaran uang yang terjadi dan diperparah adanya financing mismatch tadi.

Bagaimana subprime mortgage menghantam Bursa New York?
Pasar sangat sensitif pada kabar buruk (bad news). Dan kabar buruk yang memicu krisis di Wall Street ini diduga datang pada tanggal 2 Agustus lalu, saat BNP Paribas- salah satu bank terbesar di Eropa yang berasal dari Prancis dan sebuah bank Jerman (IKB Deutsche Industriebank) mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika. Selanjutnya, berita terpuruknya subprime mortgage ini mulai terkuak di mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun. Akibatnya, kepanikan pun mulai melanda para investor di lantai bursa New York. Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri properti. Karena perusahaan yang berkaitan dengan properti di Bursa New York ada sekitar 1/3 dari total kapitalisasi pasar, tak heran, jika bursa saham secara total juga ikut terkoreksi. Investor yang panik, kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman – antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi pemerintah.

Bagaimana krisis subprime mortgage menjadi krisis global?
Gerak arus modal yang semakin borderless, membuat pasar keuangan dunia menjadi saling terkait dan saling berketergantungan satu sama lain. Sentimen negatif dan kepanikan dari Wall Street yang notabene merupakan pasar saham terbesar di dunia dengan cepatnya menjalar ke mana-mana. Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun investment bank baik yang secara kebetulan memiliki investasi di subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan mulai memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah. Motifnya kurang lebih sama,, mencoba menghindari risiko kerugian yang lebih besar (cut loss). Maka, tak heran bursa-bursa saham regional dan dunia juga ikut bertumbangan.

Apakah krisis subprime mortgage mengancam bank-bank juga?
Untuk bank-bank yang memiliki investasi di subprime mortgage secara langsung (seperti BNP Paribas di atas), imbasnya tentu ada yaitu kerugian investasi. Kerugian investasi berakibat pada seretnya dana cadangan bank-bank tersebut. Karena lalu lintas keuangan yang begitu cepat di bank, seretnya dana cadangan tersebut bisa berimbas kepada kesulitan likuaditas. Lalu bagaimana dengan bank-bank lainnya? Karena para investor mulai memindahkan investasinya ke tempat yang lebih aman (antara lain ke deposito bank) maka bank pun menerima ‘uang panas’ dari investor. Oleh karena itu, bank pun harus siap-siap menambah cadangannya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan mendadak dari para investor tersebut. Hal tersebut membuat bank cenderung untuk menaikkan bunga pinjaman antarbank. Otomatis lalu lintas pinjam meminjam sesama bank menjadi semakin mahal. Ini lagi-lagi berimbas pada kesulitan likuiditas di dunia perbankan. Tak heran dalam beberapa hari terakhir Bank Sentral di Eropa, AS dan Australia sibuk mengucurkan kredit likuiditas untuk menopang lancarnya arus lalu lintas keuangan di kawasan mereka.

Bagaimana di Indonesia?
Setelah sempat menembus ‘rekor’ tertinggi di angka 2300an, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), belakangan juga ikut ‘terkapar’ dihempas sentimen negatif pasar global. Saat ini (16/8) angka IHSG berada di bawah 2000. Hal ini menegaskan pendapat beberapa pengamat yang menyatakan bahwa ‘rekor’ IHGS disebabkan masuknya ‘uang panas’ dari luar negeri yang memiliki kecenderungan mengambil keuntungan jangka pendek belaka. Ini tak mengherankan karena para investor global tersebut mulai menyesuaikan komposisi investasinya demi menghindarkan kerugian yang lebih besar. Semoga saja faktor-faktor dalam negeri tetap stabil, sehingga gejolak pasar global tidak berimbas ke dalam negeri.

Sumber informasi:
DWTV via SBS (17/8/2007)
Detikfinance
Subprime crisis di http://www.voxeu.org/index.php?q=node/466