Sunday, October 21, 2007

Kecurangan Akuntansi Dalam Pelaporan Keuangan (1)

Salah Saji Material (Material misstatement)
Kesalahan pencatatan akuntansi dapat menyebabkan salah saji material pada pelaporan keuangan. Salah saji material pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. Secara umum salah saji material dapat dikategorikan menjadi 2: kualitatif dan kuantitatif. Contoh salah saji yang kategori pertama adalah kesalahan pengelompokan rekening di pelaporan keuangan. Semisal pinjaman dari bank yang berumur kurang dari 1 tahun (current) dilaporkan di rekening pinjaman jangka panjang (non-current). Efek dari kesalahan ini bisa berakibat pada tidak akuratnya perhitungan rasio lancar (current ratio) dan perbandingan hutang pada modal (debt to equity ratio). Contoh salah saji kategori kedua adalah kesalahan pencatatan piutang dari pelanggan. Semisal, angka yang seharusnya $1.56 juta tercatat menjadi $1.65 juta akibat kesalahan analisis data. Hal ini menyebabkan aktiva perusahaan menjadi lebih besar dari seharusnya.

Kesalahan Akuntansi
Kesalahan pencatatan akuntansi juga bisa dikategorikan menjadi 2: kelalaian dan kecurangan. Kelalaian (error) mengacu pada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara tidak sengaja diakibatkan oleh salah perhitungan, salah pengukuran, salah estimasi serta salah interpretasi standar akuntansi. Kategori kedua, kecurangan (fraud) mengacu kepada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan meyesatkan pembaca/pengguna laporan keuangan. Tindakan ini dilakukan dengan motivasi negatif guna mengambil keuntungan sebagian pihak. Singkatnya, kedua kategori kesalahan akuntansi di atas dibedakan oleh motif tujuannya, apakah sengaja (unintentional) atau sengaja (intentional).

Kecurangan Akuntansi
Karena kelalaian akuntansi sifatnya tidak disengaja dan standard akuntansi pun memberikan “ruang” untuk memperbaikinya, maka tipe kesalahan ini tidaklah terlalu patut untuk dirisaukan. Yang menjadi masalah saat ini adalah kesalahan akuntansi yang disengaja (fraud) yang selanjutnya akan kita sebut sebagai kesalahan akuntansi. Berdasarkan tipe transaksinya, kecurangan akuntansi dapat dibagi menjadi: menjual lebih banyak (selling more), pembebanan lebih sedikit (costing less), memiliki lebih banyak (owning more), memiliki lebih sedikit (owning less), menyajikan lebih baik (presenting it better) dan tipe lain kecurangan akuntansi (others).

Friday, August 17, 2007

FAQ: Krisis Subprime Mortgage

Kebetulan baru lihat liputan krisis ini di DWTV. Penjelasannya menarik dan gampang diikuti. Gak ada salahnya dibagi di sini. Selamat membaca.
Apa itu subprime mortgage?
Subprime mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang ‘miskin’ Amerika. Orang ‘miskin’ yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki rating kredit buruk – antara lain para penunggak tagihan kartu kredit dan tagihan kredit kendaraan bermotor. Bisa dikatakan subprime mortgage adalah KPR bagi wong cilik di Amerika.

Mengapa ada subprime mortgage?
Kita bicara hukum permintaan dan penawaran di sini. Orang-orang ‘miskin’ di Amerika sama halnya dengan orang kebanyakan, punya impian untuk memiliki rumah sendiri, sementara bank-bank konvensional yang ada, banyak yang takut melihat rekam jejak kredit mereka. Di lain sisi, perusahaan kredit perumahan (mortgage company), melihat mereka sebagai peluang bisnis yang perlu digarap. Akhirnya, perusahaan kredit perumahan tadi datang dengan segepok uang tunai, lalu lantas mengucurkan kredit rumah kepada mereka.

Bagaimana Perusahaan Kredit Perumahan beroperasi?
Perusahaan kredit perumahan ini sebagian dananya didapat dari pinjaman dari pihak ketiga dalam jangka waktu pengembalian yang pendek (1-5 tahun). Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan kredit jangka panjang yang bisa berkisar 10-20 tahun. Pendeknya, ada financing mismatch di sini.

Selanjutnya, perusahaan kredit perumahan juga berbisnis via margin penjualan mortgage backed securities atau efek beragun aset (EBA). EBA merupakan kumpulan kredit-kredit yang kemudian dijual kepemilikannya kepada investor. Dalam kaitannya dengan EBA yang berasal dari subprime mortgage, investor mendapatkan bukti kepemilikannya dalam bentuk saham yang diback-up oleh properti yang diagunkan dalam proses subprime mortgage tadi. Karena EBA yang berasal dari subprime mortgage ini cukup berisiko, maka return EBA ini juga tinggi. Return EBA didapatkan dari cicilan pembayaran kreditor-kreditor subprime mortgage – yang mana seperti disebutkan sebelumnya adalah orang-orang ‘miskin’ di AS. Oya, EBA ini di AS dan Australia ada pasarnya tersendiri. Jadi ada pembeli, penjual dan mekanisme harganya tersendiri. Selanjutnya, karena EBA tipe subprime mortgage ini berkarakteristik high risk high return, maka cukup banyak investor hedge fund dan investment bank yang meminatinya. Hedge Fund sendiri terdiri kumpulan dana investor raksasa yang investasinya lintas negara dan cenderung beraksi spekulatif.

Bagaimana subprime mortgage terjerembab krisis?
Gampang saja. Karena kreditor subprime mortgage adalah orang-orang pendapatannya pas-pasan maka kemampuan pembayaran cicilannya juga sangat lemah Sehingga saat para kreditor tersebut tidak mampu membayar cicilan kreditnya, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage pun ambruk. Nilai jualnya jadi terkoreksi. Otomatis, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage juga ikutan merugi. Parahnya lagi, banyak perusahaan kredit perumahan yang juga bangkrut, karena tidak ada putaran uang yang terjadi dan diperparah adanya financing mismatch tadi.

Bagaimana subprime mortgage menghantam Bursa New York?
Pasar sangat sensitif pada kabar buruk (bad news). Dan kabar buruk yang memicu krisis di Wall Street ini diduga datang pada tanggal 2 Agustus lalu, saat BNP Paribas- salah satu bank terbesar di Eropa yang berasal dari Prancis dan sebuah bank Jerman (IKB Deutsche Industriebank) mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika. Selanjutnya, berita terpuruknya subprime mortgage ini mulai terkuak di mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun. Akibatnya, kepanikan pun mulai melanda para investor di lantai bursa New York. Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri properti. Karena perusahaan yang berkaitan dengan properti di Bursa New York ada sekitar 1/3 dari total kapitalisasi pasar, tak heran, jika bursa saham secara total juga ikut terkoreksi. Investor yang panik, kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman – antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi pemerintah.

Bagaimana krisis subprime mortgage menjadi krisis global?
Gerak arus modal yang semakin borderless, membuat pasar keuangan dunia menjadi saling terkait dan saling berketergantungan satu sama lain. Sentimen negatif dan kepanikan dari Wall Street yang notabene merupakan pasar saham terbesar di dunia dengan cepatnya menjalar ke mana-mana. Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun investment bank baik yang secara kebetulan memiliki investasi di subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan mulai memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah. Motifnya kurang lebih sama,, mencoba menghindari risiko kerugian yang lebih besar (cut loss). Maka, tak heran bursa-bursa saham regional dan dunia juga ikut bertumbangan.

Apakah krisis subprime mortgage mengancam bank-bank juga?
Untuk bank-bank yang memiliki investasi di subprime mortgage secara langsung (seperti BNP Paribas di atas), imbasnya tentu ada yaitu kerugian investasi. Kerugian investasi berakibat pada seretnya dana cadangan bank-bank tersebut. Karena lalu lintas keuangan yang begitu cepat di bank, seretnya dana cadangan tersebut bisa berimbas kepada kesulitan likuaditas. Lalu bagaimana dengan bank-bank lainnya? Karena para investor mulai memindahkan investasinya ke tempat yang lebih aman (antara lain ke deposito bank) maka bank pun menerima ‘uang panas’ dari investor. Oleh karena itu, bank pun harus siap-siap menambah cadangannya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan mendadak dari para investor tersebut. Hal tersebut membuat bank cenderung untuk menaikkan bunga pinjaman antarbank. Otomatis lalu lintas pinjam meminjam sesama bank menjadi semakin mahal. Ini lagi-lagi berimbas pada kesulitan likuiditas di dunia perbankan. Tak heran dalam beberapa hari terakhir Bank Sentral di Eropa, AS dan Australia sibuk mengucurkan kredit likuiditas untuk menopang lancarnya arus lalu lintas keuangan di kawasan mereka.

Bagaimana di Indonesia?
Setelah sempat menembus ‘rekor’ tertinggi di angka 2300an, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), belakangan juga ikut ‘terkapar’ dihempas sentimen negatif pasar global. Saat ini (16/8) angka IHSG berada di bawah 2000. Hal ini menegaskan pendapat beberapa pengamat yang menyatakan bahwa ‘rekor’ IHGS disebabkan masuknya ‘uang panas’ dari luar negeri yang memiliki kecenderungan mengambil keuntungan jangka pendek belaka. Ini tak mengherankan karena para investor global tersebut mulai menyesuaikan komposisi investasinya demi menghindarkan kerugian yang lebih besar. Semoga saja faktor-faktor dalam negeri tetap stabil, sehingga gejolak pasar global tidak berimbas ke dalam negeri.

Sumber informasi:
DWTV via SBS (17/8/2007)
Detikfinance
Subprime crisis di http://www.voxeu.org/index.php?q=node/466

Thursday, July 12, 2007

Ini GBK bung!

Gatot Soepriyanto
Dimuat di: Bolavaganza edisi Juli 2007.

Perhelatan akbar sepakbola sejagat Asia bernama Piala Asia 2007 sebentar lagi akan berlangsung di Jakarta. Masyarakat dan para pengamat ramai memperbincangkan masalah peluang tim nasonal Indonesia di kancah tersebut. Mayoritas kalangan meragukan kemampuan tim merah putih untuk meyaingi kekuatan papan atas Asia macam Korea Selatan, Arab Saudi dan Bahrain yang ketiganya berada dalam satu grup dengan kita. Keraguan, atau lebih tepatnya kekhawatiran tersebut cukuplah beralasan, sudah lebih dari 2 dekade tim merah putih kering prestasi, jangankan berbicara di tingkat Asia, di tingkat kawasan Asia Tenggara saja kita sudah ‘kedodoran’.

Untungnya, kesuksesan sebuah tim di sepakbola tidak melulu ditentukan oleh permainan tim di lapangan atau fakta-fakta prestasi masa lalu, tetap juga melibatkan banyak faktor. Dua faktor yang kerap menentukan sukses atau tidaknya sebuah tim adalah faktor stadion dan dukungan suporter. Kedua hal ini, secara kebetulan sangat mendukung timnas Indonesia. Selaku tuan rumah, timnas akan bermain di stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan – yang sudah diakrabi oleh mayoritas pemain plus di depan puluhan ribu dukungan suporter fanatiknya.

Celakanya, dua faktor tersebut lebih sering memberikan hasil negatif bagi timnas. Sebagai contoh, catatan rekor timnas di GBK tidaklah begitu baik. Di ajang kompetisi resmi yang terakhir diikuti yaitu Piala Tiger 2004, Indonesia 2 kali tumbang di tangan Malaysia dan Singapura – masing-masing di babak semi final dan final putaran pertama. Sementara catatan yang terbaru, dalam partai uji coba melawan timnas U23 Singapura, timnas lagi-lagi harus menyerah 0 -1 dari tamunya. Faktor suporter juga kerap dituding sebagai biang keladi melempemnya penampilan timnas jika tampil di GBK – alih-alih mendukung timnas habis-habisan, mereka malah kerap mencemooh pemain timnas jika timnas berada dalam kondisi tertekan atau tertinggal.

Untuk meraih kesuksesan yang maksimal di ajang Piala Asia 2007 nanti, Indonesia sebagai tuan rumah, harus bisa memaksimalkan 2 faktor penting tersebut. Pemain timnas Indonesia harus lebih dibiasakan dengan kondisi stadion GBK, termasuk masalah rumput, lebar lapangan, posisi gawang sampai kemungkinan menjalani latihan di GBK saat malam hari – jika memang jadwal timnas harus bermain malam.

Sementara untuk dukungan suporter, sudah selayaknya dilakukan koordinasi antarsuporter yang akan mendukung timnas secara langsung di GBK. Tujuannya, agar dukungan di dalam stadion bisa lebih fokus, tertib dan memberikan dampak positif bagi permainan timnas di lapangan. Hilangkan kebiasaan mencemooh para pemain timnas jika mereka berbuat blunder atau kesalahan. Buang jauh-jauh sifat iseng suporter yang kerap melempar benda-benda keras ke lapangan. Alangkah eloknya jika suporter kita bisa meniru suporter Inggris yang menyanyikan lagu God Save the Queen saat timnya tertinggal guna membakar semangat tim atau bernyanyi lagu Que Sera, Sera saat timnya sedang bersiap melakukan adu penalti di Piala Dunia 2006 lalu. Dengan dukungan banyak pihak, timnas Indonesia mungkin memiliki harapan nantinya. Buktikan dan tunjukkan bahwa GBK siap memberikan kejutan bagi tim mapan Asia. Mari teriakkan dengan lantang, ini GBK bung!

Tuesday, June 19, 2007

Aral dalam UUPM

by:
Luki Djani* Gatot Soepriyanto**
Suara Pembaruan
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/10/Editor/edit01.htm

Setelah bercokol lebih dari tiga dasawarsa, UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri (UU PMA No 1 Tahun 1967dan UU PMDN No 6 Tahun 1968) akhirnya diganti dengan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) yang baru, akhir Maret lalu. Menilik isi UUPM itu, setidaknya ada tiga catatan yang penting dikaji agar dinamika usaha dan perekonomian tidak terjerembab ke dalam berbagai masalah, yang bukan tidak mungkin justru menghambat investasi dan menumpulkan perekonomian. Tiga poin tersebut adalah pungli dan perizinan usaha, transfer pricing, dan terakhir money laundering.

Undang-undang baru mengisyaratkan percepatan dan kemudahan dalam pengurusan izin usaha melalui mekanisme satu pintu (Pasal 25 ayat 5). Upaya itu ditujukan untuk memotong bureaucratic red tape. Sebelumnya terdapat 12 prosedur, dan dibutuhkan waktu sampai 97 hari dalam pengurusan perizinan.
Penelitian Bank Dunia tiga tahun terakhir menunjukkan Indo- nesia jauh tertinggal dari negara-negara kompetitor dalam penciptaan iklim investasi yang sejuk. Perizinan usaha di Indonesia adalah yang terumit dari aspek prosedural, terlama waktu pengurusannya, dan termahal dalam biaya. Jangan heran jika banyak investor lebih memilih negara-negara tetangga yang lebih ringkas dan mudah proses perizinannya, selain memiliki daya tarik buruh murah dan aturan -semisal perburuhan dan lingkungan- yang longgar (lihat tabel).

Penelitian "Doing Business" dengan gamblang menunjukkan Thailand, ditilik dari prosedur perizinan, menerapkan prosedur teringkas, hanya delapan tahapan. Pun untuk ongkos memulai usaha dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk, Negara Gajah Putih tersebut adalah yang termurah, hanya 5,8 persen. Dari sisi waktu, Malaysia mengungguli dengan rentang terpendek 30 hari. Dari tabel di atas, Tiongkok paling getol dalam mereformasi perizinan selama tiga tahun belakangan.
Laporan Bank Dunia memang tidak memotret "jalur khusus" dalam pengurusan perizinan usaha. Dengan "pelicin", segenap prosedur dan waktu akan dipersingkat, tentunya ongkos pengurusan menjadi lebih mahal. Adanya invisible hand dalam memperlancar perizinan sering kali dikeluhkan oleh usahawan karena tiadanya kepastian perizinan dan menambah beban biaya. Hambatan di awal investasi sering membuat frustrasi pelaku bisnis dan ujung-ujungnya mereka enggan berinvestasi di Indonesia. Akankah dengan UUPM ini momok di awal investasi bisa diatasi? Mari kita tunggu realitanya di lapangan.

"Money Laundering"
UUPM tidak secara seksama menyaring praktik pencucian uang (money laundering). Alih-alih, investor diminta bertanggung jawab atas modal yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 16), tanpa adanya mekanisme monitoring dan pencegahan. Padahal, praktik ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian negara seperti fluktuasi permintaan uang, fluktuasi aliran keluar masuk modal dan meningkatkan volatilitas suku bunga serta nilai tukar uang (Camdessus, 1998). Terlebih, praktik pencucian uang juga mendistorsi ranah politik dan pemerintahan karena uang haram tersebut dapat digunakan untuk menyuap pejabat.

Pasal 8 ayat 3 menyebutkan "penanam modal diberikan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing...", terhadap antara lain dana modal, dana pembayaran pinjaman, royalti, hasil penjualan atau likuidiasi penanaman modal serta kompensasi atas kerugian dan pengambilalihan.

Kemudahan perpindahan kapital sejatinya bertujuan memudahkan investor dalam memobilisasi dananya dari dan ke Indonesia. Namun demikian, patut dicermati pula, kemudahan tersebut juga membuka potensi masuknya dana-dana haram hasil kejahatan dan bisnis ilegal dalam sistem keuangan Indonesia. Apalagi sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan mengenai transfer dana secara elektronik, yang dapat mengatur tata cara perizinan, penyelenggaraan transfer, serta sanksi transaksi cybercash tersebut.

Mendesak kebutuhan untuk merancang jaring pengaman agar kemudahan berinvestasi tidak dijadikan peluang guna mencuci dana- dana ilegal. Kita bisa mencontoh beberapa negara yang telah memiliki daftar sektor investasi yang rentan terhadap praktik money laundering, transfer dari negara dan lembaga penyedia jasa keuangan yang patut dicurigai, serta daftar hitam individu maupun kelompok usaha tertentu. BKPM harus melaporkan segenap data investasi kepada PPATK agar dapat diperiksa lebih lanjut, apakah aktivitas tersebut termasuk kategori transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction report).

Minimalisasi Pajak
Salah satu praktik nakal yang kerap dilakukan investor asing melalui perusahaan multinasionalnya adalah minimalisasi pembayaran pajak via transfer pricing. Transfer pricing merujuk pada tindakan mengalokasikan laba dari entitas perusahaan di satu negara ke entitas perusahaan di negara yang lain, dalam satu grup perusahaan, dengan tujuan meminimalisir bahkan menghindari pajak.

Dengan memindahkan laba bahkan sampai merugi dalam catatan pembukuan keuangan perusahaan, secara otomatis entitas usaha tersebut tidak dapat dikenakan pajak. Sungguh aneh jika ada perusahaan yang pesat perkembangan usahanya akan tetapi menyatakan rugi bertahun-tahun dan tidak bisa bayar pajak.

Praktik transfer pricing banyak terkait dengan kegiatan ekspor dan impor. Semisal, perusahaan garmen yang membuat pakaian jadi di Indonesia, kemudian diekspor ke perusahaan yang masih satu grup di luar negeri. Sementara, bahan baku pembuat pakaian jadi diimpor dari perusahaan satu grupnya di mancanegara. Selanjutnya, harga beli bahan baku dan harga jual pakaian jadi tersebut direkayasa agar laba perusahaan menjadi minimal sehingga minim pembayaran pajaknya.

Praktik transfer pricing sangatlah kompleks karena dalam banyak kasus bukti dokumen transaksinya ada di luar yurisdiksi Indonesia, sehingga menyulitkan aparat pajak melakukan koreksi. Tambahan lagi, tidak adanya data perilaku biaya normal untuk mayoritas industri di Indonesia, membuat praktik transfer pricing makin sulit dideteksi.

Dengan adanya keterbukaan terhadap informasi keuangan dan basis data biaya ekspor dan impor sesuai pasar, pemerintah dapat mengambil tindakan pencegahan atas praktik transfer pricing, antara lain lewat penggunaan single document system untuk perpindahan barang antarnegara. Selain itu, perlu dipasang rambu-rambu khusus antipenghindaran pajak, di mana Dirjen Pajak memiliki wewenang untuk menentukan besar kecilnya penghasilan kena pajak secara wajar dan lazim tanpa terpengaruh adanya praktik transfer pricing.

Keinginan menggebu untuk menarik investasi sepatutnya diimbangi dengan tindakan preventif guna mencegah hambatan yang bukan tidak mungkin malah mencederai perekonomian negara. Jaring pengawasan atas manipulasi usaha dan pencucian uang digelar guna mencegah manipulasi dan masuknya uang haram. Perbaikan layanan perizinan adalah hal mutlak selain pemberantasan korupsi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

*Luky Djani – peneliti ICW
**Gatot Soepriyanto – Peneliti, sedang menempuh pendidikan Master di Graduate School of Business, Monash University, Australia.

Global Auction: Menggadaikan Negara demi Investasi

by: Luki Djani* Gatot Soepriyanto**
Harian Seputar Indonesia - Mei, 2007.

UU Penanaman Modal (UUPM) yang disahkan oleh DPR beberapa waktu yang lalu bagi sebagian kalangan diyakini dapat mencerahkan iklim investasi karena memberikan jaminan berusaha. Sebagian lagi mencemaskan dampak dari liberalisasi ekonomi yang menganak-emaskan para investor dan menganaktirikan rakyat kebanyakan.

Fenomena globalisasi dimana kapital dengan bebas berselancar tanpa batas dalam praktiknya adalah global auction (Brown dan Lauder, 1997). Negara-negara berkembang, khususnya, berlomba-lomba merayu investor dengan memberikan kemudahan investasi, seperti tenaga kerja murah dan peraturan ketenagakerjaan yang menguntungkan usahawan, standar lingkungan yang minim, pembukaan akses atas kepemilikan tanah (property) serta pemberian tax holiday. Negara yang dapat memberikan fasilitas dan jaminan pertumbuhan usaha tentu diminati.

Perlakuan istimewa terhadap investor nampak jelas jika ditinjau dari tanggung jawab penanam modal. Pasal 16 UUPM menyebutkan bahwa investor harus menjamin modal yang disuntikkan bukan berasal dari sumber yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menjaga kelestarian lingkungan hidup; menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kesejahteraan pekerja serta menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli dan hal lain yang merugikan negara. Sederet tanggungjawab secara normatif tanpa elaborasi dan pembatasan yang benderang.

Kewajiban investor pun setali tiga uang, sangat abstrak. Tengok saja pasal 15: “Setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Alangkah timpangnya dengan sederet fasilitas keringanan bahkan pembebasan pajak tertentu (pasal 18) yang dielaborasi dengan detil dalam UUPM. Selain fasilitas diberikan pula kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah; fasilitas pelayanan keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor (pasal 21).

Tax Holiday vs Pemberantasan Korupsi

Sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 4 UUPM, baragam fasilitas yang diberikan berupa pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi, pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan, keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). ->apa ini gak kepanjangan mas? Gimana kalo kita sebut sebagian yg bersangkutan ama pajak aja? dan bilang antara lain sebagai berikut..
Investor yang bisa memperoleh keringanan adalah penanam modal baru yang merupakan industri pionir yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah, eksternalitas, tinggi, memperkenalkan teknologi baru serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional (ayat 5).

Pemberian tax holiday jelaslah ditujukan guna ‘mengiming-imingi’ investor berbondong-bondong menanamkan modalnya di Indonesia. Pertanyaannya, adakah strategi lain untuk memikat investor serta tetap mendatangkan pemasukan bagi negara dari pajak?

Penelitian yang dilakukan oleh Shang-Jin Wei (1997) menunjukkan korelasi positif antara korupsi dan minat investasi. Negara-negara dimana tingkat korupsi tinggi dan kronis, investor pun enggan menanamkan modalnya. Lebih dari itu, penurunan tingkat korupsi bisa disamakan dengan pemberian insentif pajak. Ia mencontohkan, jika India bisa menekan tingkat korupsi selevel Singapura, hal ini sama dengan memberikan keringanan pajak sebesar 22 persen. Angka yang fantastis.

Pekerjaan rumah yang terus terbengkalai dari pemerintah saat ini adalah pemberantasan korupsi. Jika program anti korupsi dengan slogan pemberian terapi kejut berjalan dengan efektif, pemerintah tidak perlu memberikan tax holiday kepada investor. Dengan tingkat korupsi yang rendah, investor akan terpincut dan tak segan menanamkan modalnya sementara pemerintah tetap mendapatkan pemasukan dari pajak yang berguna untuk membiayai pembangunan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan.

Tuan Tanah Baru

Dalam aspek penguasaan tanah, investor dapat mengajukan kepemilikan atas tanah untuk Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 tahun, Hak Pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya dapat diberikan dan diperpanjang serta diperbaharui dimuka sekaligus untuk rentang waktu yang sama. Luar biasa! Kenapa?

UUPM ini bahkan lebih dermawan dibandingkan dngan hukum agraria kolonial Belanda (Agrarische Wet 1870) yang hanya memberi izin 75 tahun bagi investor ditanah jajahan. Ironisnya lagi, UUPM bertabrakan dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang hanya berselang 2 bulan sebelumnya dipertahankan oleh Pemerintah dan DPR.

Mari kita tengok ketentuan dalam UUPA. Pasal 29 UUPA menyatakan "Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun".

Tambahan lagi, pada pasal 30 Ayat 1 UUPA diterangkan bahwa "Yang dapat mempunyai HGU ialah: (a) warga-negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia". Jelaslah orang asing maupun perusahaan asing (multinasional) tidak diperbolehkan memiliki HGU.

Sungguh ironis, di negeri sendiri, banyak warga negara yang tidak memiliki hak penguasaan atas tanah dan bahkan menjadi gelandangan. Bukan tidak mungkin UUPM malah mendatangkan konflik pertanahan yang kerap terjadi semasa Orde Baru dimana wong cilik digusur atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Juga, dengan adanya 2 peraturan setingkat undang-undang yang saling bertentangan, mana yang akan dijadikan acuan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan ijin hak penguasaan atas tanah?.

Investasi nir Kewajiban

Dalam UUPM tersurat secara jelas keputusasaan negara dalam menggerakkan perekonomian. Investasi – utamanya asing- dijadikan primadona untuk memutar roda perekonomian. Tidak heran jika kewajiban dan tanggung jawab perusahaan dibuat secara abstrak dan mengambang. Lihat saja aspek tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance - GCG). GCG hanyalah mantra baru yang kosong tanpa ada elaborasi lebih lanjut. Padahal, prinsip transparansi, kepedulian terhadap semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan akuntabilitas adalah krusial guna penciptaan iklim usaha yang sehat dan produktif.

Prinsip transparansi berkaitan dengan arus informasi yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sehingga pengelolaan suatu usaha dapat dipantau dan informasi yang ada dapat digunakan dalam mengambil keputusan dengan tepat. Lebih spesifik hal ini berkaitan dengan penungkapan informasi keuangan dan non keuangan kepada publik secara akurat dan bertanggung jawab. Dengan adanya keterbukaan terhadap informasi keuangan, pemerintah dapat mengambil tindakan mencegah praktek manipulasi keuangan, penghindaran pajak, serta praktek transfer pricing.

Kepedulian terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders) berkaitan dengan pandangan bahwa penanam modal tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, lingkungan, pemerintah, dan kreditor. Perspektifnya tidak lagi sekedar tanggung jawab perusahaan (responsibility) akan tetapi kewajiban (liability). Sayangnya dalam UUPM tidak dijelaskan secara detil mengenai perlindungan terhadap buruh dan konservasi lingkungan.

Akuntabilitas keuangan merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Jika penanam modal tersebut menggunakan modal tambahan dari sektor perbankan, misalnya, maka sudah seharusnya mereka memberikan pertanggungjawaban yang memadai, baik dari segi pelaporan keuangan, aktivitas maupun penunaian kewajibannya. Jangan sampai terjadi praktik penyalahgunaan kredit dan manipulasi laporan keuangan yang berbuntut kepada kredit macet. Sudah cukup mimpi buruk pinjaman BLBI yang menguap tanpa bekas.

Penutup

Keberadaan UUPM tentunya disambut meriah oleh pemodal. Beragam kemudahan diobral demi mengiming-imingi investor tanpa diikat dengan aturan main yang ketat. Tidak hanya kemudahan perijinan, fasilitas tax holiday serta hak penguasaan atas tanah dengan gamblang menegaskan ketidakberdayaan kita dalam memepertahankan kedaulatan ekonomi. Tidak jelasnya aturan yang berkaitan dengan tata laksana perusahaan yang baik dan tanggung jawab sosial perusahaan, dapat mendorong terjadinya dominasi korporasi di atas kepentingan rakyat banyak. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Akankah sumber daya ekonomi kita tergadaikan kembali?

*Luky Djani – peneliti ICW
**Gatot Soepriyanto – Peneliti, sedang menempuh pendidikan Master di Graduate School of Business, Monash University, Australia.

Monday, June 04, 2007

Gatot Menjawab (5): Penelitian di BEJ dan Kualitasnya

Ada pertanyaan yang isinya kurang lebih sebagai berikut:

[Ada hasil penelitian di Indonesia] yang berpendapat [bahwa] pasar modal di Indonesia tidak terlalu baik dijadikan sumber data buat penelitian karena data yang disajikan kurang bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya terjadi. [Tolong jelaskan maksudnya]

Jawab:
Mungkin yang dimaksudkan oleh penelitian tersebut dengan "kurang bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya terjadi" adalah berkaitan dengan hipotesa efisiensi pasar modal (efficient market hypothesis - EMH). EMH adalah sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa harga saham di pasar modal merupakan refleksi dari informasi historis, sekarang dan masa yang akan datang dari saham tersebut. Dengan kata lain, di pasar yang efisien, investor tidak bisa secara konsisten mendapatkan keuntungan lebih (abnormal return), karena tidak ada investor yang memiliki informasi yang lebih superior.

Di pasar modal negara-negara maju, bukti adanya EMH bisa kita dapatkan. Namun, untuk pasar modal negara-negara berkembang, EMH sulit untuk kita temukan. Paling banter yang ada hanya weak EMH, dia mana harga saham merupakan refleksi dari informasi historis. Hal ini dikarenakan struktur pasar modal negara-negara berkembang masih lemah dibandingkan dengan struktur negara maju.

Lalu bagaimana kaitannya dengan studi akuntansi yang berlatar belakang emiten BEJ - yang notabene bukti EMH sulit untuk didapatkan - sehingga hasil penelitan pun manfaatnya menjadi minim? Ada 2 pendapat yang saling berlawanan berkaitan dengan hal ini.

Pertama, yang menyatakan bahwa riset akuntansi tetap bisa dilakukan kendati syarat EMH tidak bisa terpenuhi. Barth et al. (2001) - yang artikelnya bisa diunduh di blog ini, menyatakan bahwa hasil penelitian akuntansi di pasar modal tetap bisa dipercaya kesimpulannya karena kendati EMH tidak terpenuhi, harga saham yang ada sudah merupakan sebuah kesepakatan transaksi ( consensus belief) dari para investor yang ada. Dengan kata lain, harga saham merupakan refleksi dari mekanisme pasar yang ada.

Kedua, Holthausen et al. (2001) - yang artikelnya bisa diunduh di blog ini, berpendapat sebaliknya. Pasar paling tidak harus semi strong efficient agar kesimpulan penelitian akuntansi bisa ada maknanya. Holthausen et al. berargumen jika pasar tidak efisien dan hanya berdasar atas consensus belief - maka bisa dikatakan bahwa pasar 'bergerak' secara tidak rasional. Dan jika hal ini terjadi, maka kesimpulan penelitian akuntansi yang berlatar pasar yang tidak efisien - menjadi kurang bermakna pula.
Demikian.

Friday, May 04, 2007

Topik Riset: Value Relevance Study

Masih bingung tetap bingung mencari topik riset akuntansi? Bagaiman kalo mencoba topik yang satu ini: value relevance study (VRS). VRS merupakan sebuah studi yang mengaitkan angka-angka akuntansi dengan penilaian ekuitas. VRS juga bisa dikatakan sebagai sebuah studi yang sebagian, jika tidak seluruhnya, dimotivasi oleh isu tentang standar akuntansi.

Topik ini sangat populer dan cukup banyak dimuat di berbagai jurnal ternama akuntansi, utamanya di dekade 1990an. VRS antara lain membandingkan, informasi mana yang lebih bermanfaat atau dinilai lebih oleh investor antara nilai historis (historical cost) dengan nilai wajar (fair value) pelaporan instrumen keuangan bank, derivatif dan aktiva tetap. VRS juga melihat perbedaan manfaat antara standar akuntansi yang baru dengan standar akuntansi yang lama (contoh SFAS 109 vs APB 11 di AS), pengakuan dan pengungkapan (recognition vs disclosure) dan juga perbedaan praktik akuntansi antarnegara (US GAAP VS AusGAAP).

VRS menggunakan Ohlsen model (1995) dan variasi perbaikannya, dalam metodologi risetnya. Model ini mengasumsikan bahwa nilai pasar ekuitas perusahaan SAMA DENGAN nilai buku ekuitas perusahaan (yaitu net financial assets ditambah net operating assets ditambah deferred tax) ditambah unrecorded goodwill. Dalam asumsi "clean surplus accounting" unrecorded goodwill didefinisikan sebagai nilai sekarang dari future abnormal return perusahaan.

Untuk lebih jelasnya, silahkan baca 2 paper yang merangkum studi-studi tentang VRS yang ada. Kedua-duanya wajib dibaca, karena 2 keduanya memiliki pendapat yang bersebrangan. Holthausen et. al (2001) adalah kalangan yang mengkritik VRS, sementara Barth et al (2001) adalah kalangan pendukung VRS.

Silahkan diunduh di link berikut:

Friday, April 20, 2007

Topik Riset: Akuntansi dan Pasar Modal

Anda mencari topik riset akuntansi? Tidak ada salahnya mencoba riset akutansi yang berkaitan dengan pasar modal dan laporan keuangan perusahaan. Jika Anda tertarik, Anda bisa membaca jurnal yang ditulis oleh Kothari dengan judul "Riset Pasar Modal di bidang Akuntansi" (Journal Accounting & Economics, 2001). Saya ingin membahasnya di sini, tapi Saya belum tuntas membacanya (maklum ada kurang leibh 231 halaman dan beragam istilah teknis yang baru Saya kenal).

Jurnal tersebut berisi ringkasan published journal yang memuat riset akuntansi di pasar modal, dengan berbagai topik termasuk masalah valuation technique yang dipakai. Untuk mengunduhnya silahkan klik link berikut ini:

Demikian dan semoga bermanfaat.

P.S. Silahkan disebarkan artikel tersebut, terutama di Indonesia, agar pengetahuan kita semakin bertambah.

Gatot Menjawab (4): Aplikasi Riset Akuntansi di Indonesia

Sebuah pertanyaan diajukan seorang teman pembaca di blog ini. Pertanyaannya cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut:

Mas Sasongko Budi:

Kayaknya riset akuntansi di Indonesia nggak banyak yang bisa diaplikasikan.
Trus berhenti sebatas teori dan di buku2 jurnal ilmiah saja. Gimana mas?

Tanggapan:
Sesungguhnya tidak digunakannya riset akuntansi sebagai faktor pertimbangan dalam menentukan sebuah kebijakan bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika hal ini juga terjadi. Tulisan saya sebelumnya membahas hal ini (Baca: Kebijakan Regulator dan Riset Audit di US: Air dan Minyak). Menurut Saya ada beberapa faktor yang membuat riset akuntansi di Indonesia tidak banyak yang diaplikaskan,
1. Kebanyakan riset akuntansi Indonesia terlalu normatif alias sebatas pusara teori dan kepentingan edukasi, sehingga minim rekomendasi dan saran bagi kebijakan dunia praktik.
2. Lingkungan dunia praktik kita (regulator, praktisi dan aparat pajak) sangat awam dengan dunia riset, sehingga hasil-hasil studi empiris akuntansi menjadi bahan asing untuk dibaca.
3. Kualitas dan integritas riset akuntansi di Indonesia masih minim. Kualitas berkaitan dengan teknik riset yang masih perlu ditingkatkan plus keakuratan data yang masih kurang (sangat jarang database yang mendukung riset akuntansi di Indonesia). Integritas berkaitan dengan analisis data dan kesimpulan dari sebuah riset yang tentu saja rawan terhadap 'manipulasi' dan kepentingan tertentu.

Ke depan, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, diharapkan kesadaran akan manfaat riset khususnya di bidang akuntansi, akan semakin meningkat pula.

Demikian.

Monday, April 16, 2007

UUPM dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Ada yang menarik dari Undang-Undang Penanaman Modal yang baru saja disahkan oleh DPR RI beberapa waktu yang lalu. Di dalam pasal 15 yang memuat tentang hak kewajiban dan tanggung jawab penanam modal, di salah satu butirnya, disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) – selanjutnya disingkat CSR.

Menjadi lebih menarik lagi jika butir tersebut kita kaitakan dengan beragam masalah lingkungan dan sosial masyarakat berkaitan dengan keadaan korporasi di Indonesia, seperti misalnya kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport di Papua dan tentu saja yang paling ‘heboh’ adalah masalah semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo.

Selama ini, pelaksanaan CSR di Indonesia hanyalah merupakan sebuah tindakan sukarela dari perusahaan. Artinya, CSR sangat tergantung dari komitmen dan norma etika perusahaan untuk turut memikirkan kondisi sosial sekitarnya. Sehingga, wacana CSR tidak pernah menjadi prioritas utama bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Sementara itu, perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa negara bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori kontrak sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di bawah teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat (corporations exist, then, only by social permission). Konsekuensinya, perusahaan harus melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.

Sementara stakeholder approach berpandangan bahwa keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham (stockholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya. Sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007)[1] memberikan gambaran yang yang mendukung pelaksanaan CSR sebagian bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill et. al melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut.

Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel lainnya – perusahan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan praktik CSR.

Dari penelitian tersebut bisa dilihat bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR. Pendeknya, CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.

Masalahnya, mayoritas korporasi di Indonesia saat ini masih memandang bahwa CSR merupakan suatu proyek “merugi” dan berpendapat bahwa CSR tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan di masa depan. Dengan kata lain, CSR tidak membantu tujuan perusahaan yang hakiki, yaitu meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya sesuai dengan harapan para pemegang saham.

Nah, di sinilah seharusnya terobosan yang dilakukan oleh UUPM dengan memasukkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai salah kewajiban bagi penanam modal, segera ditindaklanjuti. Pemerintah dapat menyusun suatu perangkat hukum – baik itu Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah – yang mengatur pelaksanaan CSR di Indonesia. Tujuannya jelas, agar tanggung jawab (responsibility) sosial perusahaan menjadi kewajiban (liability) yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Sehingga ke depannya praktik-praktik operasional perusahaan yang tidak bertanggung jawab dapat dihindari dan kalaupun terjadi, bisa dituntut melalui peraturan hukum yang jelas.

Bagi perusahaan sendiri, CSR sudah selayaknya di pandang sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan menyelaraskan program CSRnya dengan produk dan image perusahaan yang bersangkutan. Sebagai contoh, perusahaan rokok bisa melakukan program kemitraan dengan para petani tembakau lalu perusahaan produsen susu bisa melakukan program kerjasama dengan para peternak sapi setempat dan sebagainya. Dalam lingkup global, perusahaan yang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakat sekitarnya adalah the Body Shop, yang aktif mengkampanyekan kerjasama perdagangan secara fair dan mengembangkan komunitas sekitar negara di mana pabrik produk-produknya berada.

Sebagai penutup, penderitaan masyarakat karena ulah korporasi yang tidak bertanggung sudah sedemikian beratnya. Untuk itu diperlukan suatu langkah berani dari pemerintah untuk meneruskan langkah positif yang sudah dituangkan dalam UUPM – dalam kaitannya dengan tanggung jawab sosial perusahaan – sehingga kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak dapat terlindungi. Sangat penting juga bagi kalangan lobbyist di DPR dan juga pressure group macam LSM dan gerakan mahasiswa, untuk memperjuangkan produk hukum lanjutan berkenaan dengan CSR ini, demi menyelamatkan lingkungan dan masa depan anak cucu kita.

[1] Hill, Ronald, Thomas Ainscough, Todd Shank and Dary Manullang. Corporate Social Responsibility and Socially Responsible Investing: A Global Perspective., Journal of Business Ethics; Jan2007, Vol. 70 Issue 2, p165-174

Tuesday, April 10, 2007

Jalan Kita Masih Panjang - Diskusi Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Resume Diskusi “Melbourne Initiative”
Mencari Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
9 April 2007SGS, Melbourne University

Moderator: Gatot Soepriyanto
Pemantik Diskusi: Luki Djani (Indonesian Corruption Watch)

Pengantar:
Era reformasi dan transisi demokrasi yang dinikmati oleh bangsa Indonesia selama ini ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Korupsi tetaplah menjadi masalah bangsa yang sulit untuk diberantas keberadaannya. Perubahan sistem politik yang antara lain pemilihan Presiden secara langsung, ternyata tidak memberi pengaruh yang positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Karena nyatanya, publik tidaklah benar-benar bebas dalam menentukan pilihan calon presidennya, melainkan para calon presiden sudah ditentukan oleh para elit politik melalui deal-deal politik yang jauh dari sifat demokratis.

Pembenahan sistem kelembagaan birokrasi, antara lain lewat paradigma new public management ternyata juga tidak membawa harapan, ini bisa dilihat makin parahnya ‘pesta pora’ korupsi di berbagai lembaga birokrasi macam: Pemerintah Pusa/Daerah dan BUMN/D.Ironisnya lagi dana yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui APBN untuk program anti-korupsi tidaklah sedikit. Tercatat kurang lebih 6 trilyun rupiah dana APBN dialokasikan untuk berbagai program pemberantasan korupsi sepanjang kurun waktu 2004 – 2006. Sementara hasil pemantauan ICW di periode yang sama menunjukkan bahwa kasus korupsi yang diusut oleh aparat penegak hukum ‘hanya’ sebanyak 515 kasus dengan jumlah kasus terbanyak berkaitan dengan penyimpangan anggaran dan mark up.

Diskusi:

Beberapa tawaran solusi dari rekan-rekan “Melbourne Initiative” agar korupsi dapat diberantas antara lain:
- perbaikan sistem rekrutmen (lebih transparan dan melibatkan pihak ketiga) dan jenjang karier yang jelas (proses reward dan punishment yang terukur) di lembaga-lembaga pemerintah.
- Penguatan nilai-nilai internal yang berkaitan dengan kode etik dan nilai-nilai kepantasan sekaligus kuantifikasi dari nilai-nilai tersebut agar proses evaluasi menjadi lebih mudah.
- Penguatan dan peran serta aktif civil society dalam memantau proses-proses hukum yang berkaitan dengan kasus korupsi. Tujuannya agar ‘kesepakatan’ dan ‘kolusi’ terselubung di balik kasus-kasus tersebut dapat diminimalisir.
- Pendidikan yang lebih baik bagi masyarakat. Tingkat pendidikan yang baik akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melawan korupsi, karena sesungguhnya korupsi merugikan kepentingan negara dan bangsa.
- Peran serta aktif media massa dalam mengawasi pertanggungjawaban pelaksana pemerintahan. Tujuannya jelas, agar masyarakat dapat terus menyimak perkembangan terbaru berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas penyelenggara kebijakan publik.
- Peningkatan komitmen moral dan kolektivitas guna melawan budaya korupsi yang begitu mengakar di lembaga birokrasi. Usulan ini termasuk ide kerjasama antara KPK dengan organisasi lintasdepartemen guna membangung suatu gerakan/kaukus anti-korupsi.
- Perbaikan kesejahteraan. Pejabat yang jauh dari sejahtera akan rentan terhadap praktik-praktik korupsi.
- Langkah-langkah preventif lainnya, yang bertujuan agar korupsi terkesan high cost, high risk and low benefit.

Penutup

Kolektivitas dan kerja sama berbagai pihak dalam memerangi korupsi adalah sebuah keharusan. Korupsi harus dijadikan musuh bersama sehingga ruang gerak para koruptor juga semakin terbatas. Terakhir, para koruptor kelas “hiu” dan “kakap”, haruslah diseret ke meja hijau dan bila dinyatakan bersalah maka mereka harus mengembalikan kerugian yang mereka timbulkan ke kas negara. Sementara koruptor kelas “teri” dan “cumi-cumi” bisa diampuni asalkan mereka sudah menyatakan diri bersalah dan berupaya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Dengan demikian ada efek jera yang dikenakan kepada para koruptor.

Demikian.

Thursday, April 05, 2007

Apa Bukan Karena Kita Juga?

Mengikuti beragam diskusi yang ada di dunia nyata dan maya, notasi nada yang diteriakkan oleh peserta diskusi ternyata hampir semua sama. Pemerintah adalah biang dari segala kekacauan dan keboborokan negara kita. Tapi apa iya? apa tidak lebih tepat dikatakan bahwa Pemerintah menyumbang sebagian keboborokan tersebut, sementara separuhnya adalah sumbangan kita-kita juga?

Jika jalanan macet, maka sumpah serapah yang dilempar ke langit, ditujukan semua ke pemerintah. Apa pernah kita berpikir bahwa keengganan kita untuk bertertib lalu lintas dan menggunakan transportasi publik memberikan kontribusi bagi kemacetan jalan yang makin menggila?

Jika korupsi merajalela di berbagai instansi pemerintah, apa kita pernah berpikir bahwa budaya jalan pintas dan ingin cepat selesai dengan cara memberikan 'uang rokok' juga memberikan kontribusi bagi tumbuh suburnya praktik korupsi di institusi ber-plat merah?

Jika gerak ekonomi kita tak kunjung beringsut maju, apa kita pernah berpikir bahwa keengganan kita menggunakan produk-produk dalam negeri dan kegemaran akan barang-barang impor memberikan kontribusi bagi melemahnya sektor industri dalam negeri?

Jika pemerintah 'kedodoran' dalam membiayai APBN-nya sehingga harus menjual aset-aset strategis negara supaya cepat mendapatkan uang tunai, apa kita pernah berpikir bahwa pemborosan penggunaan energi listrik dan BBM memberikan kontribusi bagi membengkaknya subsidi listrik & BBM di sektor pengeluaran negara?

Jika citra Indonesia semakin terpuruk di mata dunia Internasional, apakah kita pernah berpikir bahwa itu kontribusi sebagian dari kita yang gemar saling cakar karena berbeda ideologi? gemar meledakkan bom hanya karena alasan teror dibalas teror? karena kita gemar menjelekkan dan menertawakan bangsa kita di depan bangsa lain?

Kenapa sih capek memikirkan bangsa ini? tokh udah ada pemerintah yang mengurus, anggota dewan terhombrat yang memikirkan RUU dan Polisi/TNI yang menjaga keamanan?
Lha, pendapat yang seperti ini yang bikin kita gak pernah maju.

Kita tidak (pernah) bisa mengubah sesuatu dengan sendirian, tapi jika masing-masing dari kita mau berbuat sesuatu, mungkin kita bisa membuat sebuah perubahan.

Tuesday, April 03, 2007

Gatot Menjawab (3): Beasiswa

Pendanaan gratis untuk studi alias beasiswa, jelas sangat kompetitif. Untuk itu perlu dilakukan berbagai perhitungan dan persiapan yang matang untuk dapat sukses mendapatkan beasiswa yang kita inginkan. Berikut beberapa tips dalam mencari beasiswa (pengalaman pribadi).

1. Persiapan Pribadi
- Setiap beasiswa yang disediakan, pasti ada target penerima beasiswanya, pastikan bahwa Anda berada di dalam target penerima beasiswa tersebut. Contoh: pegawai negeri (BUMN, Pemda, Pemerintah Pusat), dosen/pengajar, peneliti, aktivis LSM dan pekerja sosial.
- Ada baiknya sebelum sekolah lagi (S-2), Anda sempat memiliki pengalaman kerja yang memadai. Hal ini akan sangat membantu Anda dalam 'menikmati' kuliah S-2 Anda, karena apa yang Anda pelajari bisa Anda bandingkan dengan praktik di dunia nyata. Tambahan lagi, dengan pengalaman kerja yang ada, Anda bisa mendapatkan posisi tawar yang lebih saat kembali lagi ke dunia kerja pasca sekolah S-2 (antara lain networking dan CV yang lengkap).
- Susun rencana ke depan yang sesuai dengan program studi S-2 yang akan Anda ikuti. Dengan demikian Anda memiliki gambaran karier yang utuh dan jelas selepas Anda belajar nanti.

2. Mencari Beasiswa
- Pasif. Bergabunglah di milis beasiswa di yahoogroups atau sering-sering kunjungi website mereka di www.milisbeasiswa.com. Milis ini sangat aktif, sehingga perlu bagi Anda untuk mensetting keanggotan Anda di Yahoogroups menjadi dailydigest, artinya email yang masuk disusun menjadi email per-hari. Kemudian pilih informasi yang relevan seperti yang Anda inginkan.
- Aktif. Anda bisa mengunjungi situs-situ universitas di negara yang Anda tuju. Luangkan waktu untuk membuka-buka link informasi tentang beasiswa di universitas tersebut. Kemungkinan besar, universitas-universitas tersebut memberikan beasiswa untuk biaya sekolah saja, sementara biaya hidup tidak ditanggung. Dengan demikian kita harus bisa mencari sponsor lagi untuk menanggung biaya hidup kita. Jika Anda memiliki proposal riset, hal ini tidak menjadi masalah, karena dengan bermodal proposal yang bagus, Anda bisa banyak menarik minta sponsor.
Demikian.

Thursday, March 29, 2007

Gatot Menjawab (2): Jenis Riset di Bidang Akuntansi

2 Minggu lalu, HPku dihujani banyak SMS dan telefon berkaitan dengan pertanyaan soal riset di bidang akuntansi. Beberapa adalah teman-teman sekampus, beberapa lainnya adalah rekan-rekan luar kampus. Sebenarnya agak malu dan sungkan juga untuk menjawab, karena aku juga baru akan melakukan riset dan bisa dibilang baru belajar melakukan riset. Tapi tidak ada salahnya memang untuk membantu teman-teman menemukan ide riset di bidang akuntansi. Berikut ringkasannya.

Jenis riset di bidang akuntansi secara garis besar bisa dibagi 3, riset empiris (melibatkan analisis statistik di dalamnya), riset deskriptif (melibatkan diskusi atau analisis teori atau hasil-hasil riset yang sudah ada) dan
Yang akan aku diskusikan sekarang adalah berkaitan dengan riset empiris. Riset empiris di bidang akuntansi bisa dibagi dalam berbagai disiplin. Yang aku pelajari sampai saat ini adalah riset empiris di bidang akuntansi keuangan dan audit. Pada kesempatan ini akan dibahas riset di bidang akuntansi keuangan terlebih dahulu.

Di bidang akuntansi keuangan, saat ini aku sedang mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan kualitas laporan keuangan (financial reporting quality) yang diukur melalui respon pasar/investor di pasar modal. Jadi bisa dibilang risetku berkaitan dengan data akuntansi dan data pasar modal.
Lebih lanjut, riset di bidang akuntansi keuangan bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, event study research. Jenis riset yang satu ini berkaitan dengan studi mengenai suatu isu/kejadian/peristiwa dan kaitannya dengan reaksi investor di pasar modal. Contoh studi ini antara lain: Studi mengenai penerapan standar akuntansi yang baru atau peraturan baru di industri tertentu. Nah, untuk menguji reaksi pasar, biasanya kita akan melakukan event study research untuk menemukan apakah investor bereaksi terhadap peristiwa tersebut. Jika bereaksi, maka reaksinya seperti apa - positif atau negatif? reaksi pasar biasanya diwakili dengan CAR (Cumulative Abnormal Return) di periode terjadinya peristiwa tersebut.

Kedua, value-relevance study. Di sini kita ingin mengetahui tentang seberapa relevan informasi akuntansi digunakan oleh investor dalam menilai harga saham. Contohnya, Value-relevance studi tentang disclosure atau pengungkapan informasi non-keuangan di laporan keuangan (misal: pergantian software keuangan, IT system dan environmental issues). Di sini kita mengukur apakah pengungkapan informasi non-keuangan tersebut benar-benar di'baca' dan digunakan oleh investor? value-relevance studi ini biasanya menggunakan Ohlson Model (1995) dan modifikasinya.

Ketiga, earning quality study. Di sini kita coba mengukur kualitas earning atau laba perusahaan. Seperti kita ketahui, laporan keuangan disusun oleh 2 komponen, cash dan non cash (accrual) sekaligus juga melibatkan estimasi, penilaian dan subjektifitas dari penyusun laporan keuangan. Nah, karena hal-hal tersebutlah maka kualitas earning setiap perusahaan akan berbeda-beda. Dengan demikian kita harus bisa membedakan mana perusahaan yang memiliki high earning quality dan mana yang tidak. Termasuk di dalam riset ini adalah riset tentang earning management/income smoothing/creative accounting.
Demikian.

Gatot Menjawab (1): Master by Course vs Research

Seorang rekan di Indonesia bertanya kepadaku via email "Apa bedanya Master by Course dengan Master by Research?" Berikut penjelasannya.

Master by Coursework

Jenjang studi S2 ini dari namanya, bisa segera kita pahami bahwa syarat kelulusannya menyangkut kemampuan kita untuk menyelesaikan jumlah unit mata kuliah yang disyaratkan. Unit mata kuliah tersebut mensyaratkan kita untuk hadir di kuliah, mengerjakan tugas-tugas dan lulus dari ujian. Dengan kata lain, kita tidak diharuskan menyelesaikan suatu "research project" atau "thesis". Lama waktu studi biasanya beragam, bisa 1, 1, 5 sampai 2 tahun.

Master by Research
Jenjang studi Master yang satu ini, mensyaratkan mahasiswanya untuk menyelesaikan "research project" atau "thesis" untuk lulus. Namun demikian, bukan berarti mahasiswa di program ini tidak 'kuliah' satu sama sekali. Beberapa universitas menawarkan beberapa unit mata kuliah sebagai alternatif bagi mahasiswa Master by Research, bisa berkaitan dengan riset yang bersangkutan atau bisa juga mata kuliah "Research Methodology" dan "Research Proposal". Setidaknya ada 2 motivasi bagi mahasiswa yang mengambil jalur ini, pertama karena ketertarikan mereka pada riset dan yang kedua karena bertujuan untuk melanjutkan jenjang studi S-3. Teorinya, jika S2 kita sudah ada latar belakang riset, maka S3 kita juga akan lebih mudah.

Bisa gak pindah jalur? semisal by Coursework kemudian pindah by Research? jawabannya bisa, sepanjang syarat-syarat dari fakultas terpenuhi (antara lain sisa waktu belajar dan nilai rata-rata minimal). Kasus ini terjadi buatku. 1 tahun aku by coursework, kemudian sisa 1 tahun lagi diselesaikan by reserach.
Demikian

Monday, March 26, 2007

E&Y Was Fined for Independence Violation

For the second time in four years, Ernst & Young (EY) in US has to pay hefty penalty due to the violation of independence standard. EY in 2004 was fined $1.7 million by SEC and handed six-month new client ban while this year the company may pay $1.6 million regarding their work with AIG and PNC Financial Services Group that allegedly violate the independence auditor conduct.

According to CFO.com, "an Ernst & Young partner helped AIG to develop and market an accounting-driven financial product, then advised PNC on the accounting treatment for that product in PNC's financial statements". Further, the product enables a company to transfer volatile financial assets to a special purpose entity, so as the related assets can be excluded from its consolidated financial report.

Concerning the issues, one of my friends was wondering about the possibility of liquidation for E&Y as a result of such continuous improper conduct (like Arthur Andersen's collapse in 1999). I argue to my friend that such action wouldn't be happend, since the US authority want to keep the audit market still competitive and free from oligopoly practice. As we know, nowadays, EY is one of the big four audit firms in the world. I couldn't dare to dream that there were only 3 big audit firms in the world. Besides, E&Y was my first professional company where I worked for 1.5 years in Jakarta, so I don't want my former company collapse due to any wrongdoings.