Wednesday, January 07, 2009
Mencari Artikel Ilmiah di E-Library
Posted by Gatoso 155 comments
Labels: Artikel Ilmiah, E-LIbrary
Topik-Topik Penelitian Untuk Skripsi 2009
Berikut adalah presentasi Saya soal topik-topik penelitian untuk skripsi yang dapat dilakukan oleh para mahasiswa. Semoga bermanfaat. Tetap semangat!
Posted by Gatoso 16 comments
Labels: Penelitian Akuntansi, Skripsi
Saturday, January 03, 2009
I am back!
Terima kasih dan doakan blog ini tetap bisa eksis :)
Posted by Gatoso 15 comments
Trend Audit Global dan Profesi Akuntan Indonesia (Global Audit Trend and Indonesian Accounting Profession)
Berikut ini adalah presentasi yang Saya sampaikan di sebuah kuliah tamu di UMY. Presentasi tersebut membahas mengenai 3 poin utama. Pertama, tentang tren audit di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, beserta dengan tantangan yang dihadapi oleh profesi auditor dewasa ini. Kedua, mengenai tantangan profesi akuntan di Indonesia, termasuk bagaimana profesi ini di Indonesia "terancam punah" dengan adanya beberapa faktor penghambat. Dan ketiga, tentang analisa mengapa akuntan Indonesia sulit bersaing di pasar akuntan global. Di pembahasan yang ketiga ini disertai juga tentang kontribusi yang dapat diberikan dunia pendidikan untuk mengatasi masalah tersebut.
Anda memiliki komentar? silahkan posting pendapat Anda di menu comments yang tersedia. Semoga bermanfaat.
Posted by Gatoso 4 comments
Labels: Auditing, Global Audit Trend, Profesi Akuntan Indonesia
Sunday, October 21, 2007
Kecurangan Akuntansi Dalam Pelaporan Keuangan (1)
Salah Saji Material (Material misstatement)
Kesalahan pencatatan akuntansi dapat menyebabkan salah saji material pada pelaporan keuangan. Salah saji material pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. Secara umum salah saji material dapat dikategorikan menjadi 2: kualitatif dan kuantitatif. Contoh salah saji yang kategori pertama adalah kesalahan pengelompokan rekening di pelaporan keuangan. Semisal pinjaman dari bank yang berumur kurang dari 1 tahun (current) dilaporkan di rekening pinjaman jangka panjang (non-current). Efek dari kesalahan ini bisa berakibat pada tidak akuratnya perhitungan rasio lancar (current ratio) dan perbandingan hutang pada modal (debt to equity ratio). Contoh salah saji kategori kedua adalah kesalahan pencatatan piutang dari pelanggan. Semisal, angka yang seharusnya $1.56 juta tercatat menjadi $1.65 juta akibat kesalahan analisis data. Hal ini menyebabkan aktiva perusahaan menjadi lebih besar dari seharusnya.
Kesalahan pencatatan akuntansi juga bisa dikategorikan menjadi 2: kelalaian dan kecurangan. Kelalaian (error) mengacu pada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara tidak sengaja diakibatkan oleh salah perhitungan, salah pengukuran, salah estimasi serta salah interpretasi standar akuntansi. Kategori kedua, kecurangan (fraud) mengacu kepada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan meyesatkan pembaca/pengguna laporan keuangan. Tindakan ini dilakukan dengan motivasi negatif guna mengambil keuntungan sebagian pihak. Singkatnya, kedua kategori kesalahan akuntansi di atas dibedakan oleh motif tujuannya, apakah sengaja (unintentional) atau sengaja (intentional).
Karena kelalaian akuntansi sifatnya tidak disengaja dan standard akuntansi pun memberikan “ruang” untuk memperbaikinya, maka tipe kesalahan ini tidaklah terlalu patut untuk dirisaukan. Yang menjadi masalah saat ini adalah kesalahan akuntansi yang disengaja (fraud) yang selanjutnya akan kita sebut sebagai kesalahan akuntansi. Berdasarkan tipe transaksinya, kecurangan akuntansi dapat dibagi menjadi: menjual lebih banyak (selling more), pembebanan lebih sedikit (costing less), memiliki lebih banyak (owning more), memiliki lebih sedikit (owning less), menyajikan lebih baik (presenting it better) dan tipe lain kecurangan akuntansi (others).
Posted by Gatoso 20 comments
Labels: Fraud (Kecurangan Akuntansi)
Friday, August 17, 2007
FAQ: Krisis Subprime Mortgage
Subprime mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang ‘miskin’ Amerika. Orang ‘miskin’ yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki rating kredit buruk – antara lain para penunggak tagihan kartu kredit dan tagihan kredit kendaraan bermotor. Bisa dikatakan subprime mortgage adalah KPR bagi wong cilik di Amerika.
Mengapa ada subprime mortgage?
Kita bicara hukum permintaan dan penawaran di sini. Orang-orang ‘miskin’ di Amerika sama halnya dengan orang kebanyakan, punya impian untuk memiliki rumah sendiri, sementara bank-bank konvensional yang ada, banyak yang takut melihat rekam jejak kredit mereka. Di lain sisi, perusahaan kredit perumahan (mortgage company), melihat mereka sebagai peluang bisnis yang perlu digarap. Akhirnya, perusahaan kredit perumahan tadi datang dengan segepok uang tunai, lalu lantas mengucurkan kredit rumah kepada mereka.
Bagaimana Perusahaan Kredit Perumahan beroperasi?
Perusahaan kredit perumahan ini sebagian dananya didapat dari pinjaman dari pihak ketiga dalam jangka waktu pengembalian yang pendek (1-5 tahun). Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan kredit jangka panjang yang bisa berkisar 10-20 tahun. Pendeknya, ada financing mismatch di sini.
Selanjutnya, perusahaan kredit perumahan juga berbisnis via margin penjualan mortgage backed securities atau efek beragun aset (EBA). EBA merupakan kumpulan kredit-kredit yang kemudian dijual kepemilikannya kepada investor. Dalam kaitannya dengan EBA yang berasal dari subprime mortgage, investor mendapatkan bukti kepemilikannya dalam bentuk saham yang diback-up oleh properti yang diagunkan dalam proses subprime mortgage tadi. Karena EBA yang berasal dari subprime mortgage ini cukup berisiko, maka return EBA ini juga tinggi. Return EBA didapatkan dari cicilan pembayaran kreditor-kreditor subprime mortgage – yang mana seperti disebutkan sebelumnya adalah orang-orang ‘miskin’ di AS. Oya, EBA ini di AS dan Australia ada pasarnya tersendiri. Jadi ada pembeli, penjual dan mekanisme harganya tersendiri. Selanjutnya, karena EBA tipe subprime mortgage ini berkarakteristik high risk high return, maka cukup banyak investor hedge fund dan investment bank yang meminatinya. Hedge Fund sendiri terdiri kumpulan dana investor raksasa yang investasinya lintas negara dan cenderung beraksi spekulatif.
Bagaimana subprime mortgage terjerembab krisis?
Gampang saja. Karena kreditor subprime mortgage adalah orang-orang pendapatannya pas-pasan maka kemampuan pembayaran cicilannya juga sangat lemah Sehingga saat para kreditor tersebut tidak mampu membayar cicilan kreditnya, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage pun ambruk. Nilai jualnya jadi terkoreksi. Otomatis, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage juga ikutan merugi. Parahnya lagi, banyak perusahaan kredit perumahan yang juga bangkrut, karena tidak ada putaran uang yang terjadi dan diperparah adanya financing mismatch tadi.
Bagaimana subprime mortgage menghantam Bursa New York?
Pasar sangat sensitif pada kabar buruk (bad news). Dan kabar buruk yang memicu krisis di Wall Street ini diduga datang pada tanggal 2 Agustus lalu, saat BNP Paribas- salah satu bank terbesar di Eropa yang berasal dari Prancis dan sebuah bank Jerman (IKB Deutsche Industriebank) mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika. Selanjutnya, berita terpuruknya subprime mortgage ini mulai terkuak di mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun. Akibatnya, kepanikan pun mulai melanda para investor di lantai bursa New York. Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri properti. Karena perusahaan yang berkaitan dengan properti di Bursa New York ada sekitar 1/3 dari total kapitalisasi pasar, tak heran, jika bursa saham secara total juga ikut terkoreksi. Investor yang panik, kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman – antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi pemerintah.
Bagaimana krisis subprime mortgage menjadi krisis global?
Gerak arus modal yang semakin borderless, membuat pasar keuangan dunia menjadi saling terkait dan saling berketergantungan satu sama lain. Sentimen negatif dan kepanikan dari Wall Street yang notabene merupakan pasar saham terbesar di dunia dengan cepatnya menjalar ke mana-mana. Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun investment bank baik yang secara kebetulan memiliki investasi di subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan mulai memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah. Motifnya kurang lebih sama,, mencoba menghindari risiko kerugian yang lebih besar (cut loss). Maka, tak heran bursa-bursa saham regional dan dunia juga ikut bertumbangan.
Apakah krisis subprime mortgage mengancam bank-bank juga?
Untuk bank-bank yang memiliki investasi di subprime mortgage secara langsung (seperti BNP Paribas di atas), imbasnya tentu ada yaitu kerugian investasi. Kerugian investasi berakibat pada seretnya dana cadangan bank-bank tersebut. Karena lalu lintas keuangan yang begitu cepat di bank, seretnya dana cadangan tersebut bisa berimbas kepada kesulitan likuaditas. Lalu bagaimana dengan bank-bank lainnya? Karena para investor mulai memindahkan investasinya ke tempat yang lebih aman (antara lain ke deposito bank) maka bank pun menerima ‘uang panas’ dari investor. Oleh karena itu, bank pun harus siap-siap menambah cadangannya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan mendadak dari para investor tersebut. Hal tersebut membuat bank cenderung untuk menaikkan bunga pinjaman antarbank. Otomatis lalu lintas pinjam meminjam sesama bank menjadi semakin mahal. Ini lagi-lagi berimbas pada kesulitan likuiditas di dunia perbankan. Tak heran dalam beberapa hari terakhir Bank Sentral di Eropa, AS dan Australia sibuk mengucurkan kredit likuiditas untuk menopang lancarnya arus lalu lintas keuangan di kawasan mereka.
Bagaimana di Indonesia?
Setelah sempat menembus ‘rekor’ tertinggi di angka 2300an, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), belakangan juga ikut ‘terkapar’ dihempas sentimen negatif pasar global. Saat ini (16/8) angka IHSG berada di bawah 2000. Hal ini menegaskan pendapat beberapa pengamat yang menyatakan bahwa ‘rekor’ IHGS disebabkan masuknya ‘uang panas’ dari luar negeri yang memiliki kecenderungan mengambil keuntungan jangka pendek belaka. Ini tak mengherankan karena para investor global tersebut mulai menyesuaikan komposisi investasinya demi menghindarkan kerugian yang lebih besar. Semoga saja faktor-faktor dalam negeri tetap stabil, sehingga gejolak pasar global tidak berimbas ke dalam negeri.
Sumber informasi:
DWTV via SBS (17/8/2007)
Detikfinance
Posted by Gatoso 60 comments
Labels: Q en A
Thursday, July 12, 2007
Ini GBK bung!
Gatot Soepriyanto
Dimuat di: Bolavaganza edisi Juli 2007.
Perhelatan akbar sepakbola sejagat
Untungnya, kesuksesan sebuah tim di sepakbola tidak melulu ditentukan oleh permainan tim di lapangan atau fakta-fakta prestasi masa lalu, tetap juga melibatkan banyak faktor. Dua faktor yang kerap menentukan sukses atau tidaknya sebuah tim adalah faktor stadion dan dukungan suporter. Kedua hal ini, secara kebetulan sangat mendukung timnas
Posted by Gatoso 7 comments
Tuesday, June 19, 2007
Aral dalam UUPM
by:
Luki Djani* Gatot Soepriyanto**
Suara Pembaruan
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/10/Editor/edit01.htm
Undang-undang baru mengisyaratkan percepatan dan kemudahan dalam pengurusan izin usaha melalui mekanisme satu pintu (Pasal 25 ayat 5). Upaya itu ditujukan untuk memotong bureaucratic red tape. Sebelumnya terdapat 12 prosedur, dan dibutuhkan waktu sampai 97 hari dalam pengurusan perizinan.
Penelitian "Doing Business" dengan gamblang menunjukkan Thailand, ditilik dari prosedur perizinan, menerapkan prosedur teringkas, hanya delapan tahapan. Pun untuk ongkos memulai usaha dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk, Negara Gajah Putih tersebut adalah yang termurah, hanya 5,8 persen. Dari sisi waktu, Malaysia mengungguli dengan rentang terpendek 30 hari. Dari tabel di atas, Tiongkok paling getol dalam mereformasi perizinan selama tiga tahun belakangan.
"Money Laundering"
UUPM tidak secara seksama menyaring praktik pencucian uang (money laundering). Alih-alih, investor diminta bertanggung jawab atas modal yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 16), tanpa adanya mekanisme monitoring dan pencegahan. Padahal, praktik ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian negara seperti fluktuasi permintaan uang, fluktuasi aliran keluar masuk modal dan meningkatkan volatilitas suku bunga serta nilai tukar uang (Camdessus, 1998). Terlebih, praktik pencucian uang juga mendistorsi ranah politik dan pemerintahan karena uang haram tersebut dapat digunakan untuk menyuap pejabat.
Pasal 8 ayat 3 menyebutkan "penanam modal diberikan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing...", terhadap antara lain dana modal, dana pembayaran pinjaman, royalti, hasil penjualan atau likuidiasi penanaman modal serta kompensasi atas kerugian dan pengambilalihan.
Kemudahan perpindahan kapital sejatinya bertujuan memudahkan investor dalam memobilisasi dananya dari dan ke Indonesia. Namun demikian, patut dicermati pula, kemudahan tersebut juga membuka potensi masuknya dana-dana haram hasil kejahatan dan bisnis ilegal dalam sistem keuangan Indonesia. Apalagi sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan mengenai transfer dana secara elektronik, yang dapat mengatur tata cara perizinan, penyelenggaraan transfer, serta sanksi transaksi cybercash tersebut.
Mendesak kebutuhan untuk merancang jaring pengaman agar kemudahan berinvestasi tidak dijadikan peluang guna mencuci dana- dana ilegal. Kita bisa mencontoh beberapa negara yang telah memiliki daftar sektor investasi yang rentan terhadap praktik money laundering, transfer dari negara dan lembaga penyedia jasa keuangan yang patut dicurigai, serta daftar hitam individu maupun kelompok usaha tertentu. BKPM harus melaporkan segenap data investasi kepada PPATK agar dapat diperiksa lebih lanjut, apakah aktivitas tersebut termasuk kategori transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction report).
Minimalisasi Pajak
Salah satu praktik nakal yang kerap dilakukan investor asing melalui perusahaan multinasionalnya adalah minimalisasi pembayaran pajak via transfer pricing. Transfer pricing merujuk pada tindakan mengalokasikan laba dari entitas perusahaan di satu negara ke entitas perusahaan di negara yang lain, dalam satu grup perusahaan, dengan tujuan meminimalisir bahkan menghindari pajak.
Dengan memindahkan laba bahkan sampai merugi dalam catatan pembukuan keuangan perusahaan, secara otomatis entitas usaha tersebut tidak dapat dikenakan pajak. Sungguh aneh jika ada perusahaan yang pesat perkembangan usahanya akan tetapi menyatakan rugi bertahun-tahun dan tidak bisa bayar pajak.
Praktik transfer pricing banyak terkait dengan kegiatan ekspor dan impor. Semisal, perusahaan garmen yang membuat pakaian jadi di Indonesia, kemudian diekspor ke perusahaan yang masih satu grup di luar negeri. Sementara, bahan baku pembuat pakaian jadi diimpor dari perusahaan satu grupnya di mancanegara. Selanjutnya, harga beli bahan baku dan harga jual pakaian jadi tersebut direkayasa agar laba perusahaan menjadi minimal sehingga minim pembayaran pajaknya.
Praktik transfer pricing sangatlah kompleks karena dalam banyak kasus bukti dokumen transaksinya ada di luar yurisdiksi Indonesia, sehingga menyulitkan aparat pajak melakukan koreksi. Tambahan lagi, tidak adanya data perilaku biaya normal untuk mayoritas industri di Indonesia, membuat praktik transfer pricing makin sulit dideteksi.
Dengan adanya keterbukaan terhadap informasi keuangan dan basis data biaya ekspor dan impor sesuai pasar, pemerintah dapat mengambil tindakan pencegahan atas praktik transfer pricing, antara lain lewat penggunaan single document system untuk perpindahan barang antarnegara. Selain itu, perlu dipasang rambu-rambu khusus antipenghindaran pajak, di mana Dirjen Pajak memiliki wewenang untuk menentukan besar kecilnya penghasilan kena pajak secara wajar dan lazim tanpa terpengaruh adanya praktik transfer pricing.
Keinginan menggebu untuk menarik investasi sepatutnya diimbangi dengan tindakan preventif guna mencegah hambatan yang bukan tidak mungkin malah mencederai perekonomian negara. Jaring pengawasan atas manipulasi usaha dan pencucian uang digelar guna mencegah manipulasi dan masuknya uang haram. Perbaikan layanan perizinan adalah hal mutlak selain pemberantasan korupsi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
*Luky Djani – peneliti ICW
**Gatot Soepriyanto – Peneliti, sedang menempuh pendidikan Master di Graduate School of Business, Monash University, Australia.
Posted by Gatoso 8 comments
Labels: Artikel
Global Auction: Menggadaikan Negara demi Investasi
UU Penanaman Modal (UUPM) yang disahkan oleh DPR beberapa waktu yang lalu bagi sebagian kalangan diyakini dapat mencerahkan iklim investasi karena memberikan jaminan berusaha. Sebagian lagi mencemaskan dampak dari liberalisasi ekonomi yang menganak-emaskan para investor dan menganaktirikan rakyat kebanyakan.
Fenomena globalisasi dimana kapital dengan bebas berselancar tanpa batas dalam praktiknya adalah global auction (Brown dan Lauder, 1997). Negara-negara berkembang, khususnya, berlomba-lomba merayu investor dengan memberikan kemudahan investasi, seperti tenaga kerja murah dan peraturan ketenagakerjaan yang menguntungkan usahawan, standar lingkungan yang minim, pembukaan akses atas kepemilikan tanah (property) serta pemberian tax holiday. Negara yang dapat memberikan fasilitas dan jaminan pertumbuhan usaha tentu diminati.
Perlakuan istimewa terhadap investor nampak jelas jika ditinjau dari tanggung jawab penanam modal. Pasal 16 UUPM menyebutkan bahwa investor harus menjamin modal yang disuntikkan bukan berasal dari sumber yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menjaga kelestarian lingkungan hidup; menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kesejahteraan pekerja serta menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli dan hal lain yang merugikan negara. Sederet tanggungjawab secara normatif tanpa elaborasi dan pembatasan yang benderang.
Kewajiban investor pun setali tiga uang, sangat abstrak. Tengok saja pasal 15: “Setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Alangkah timpangnya dengan sederet fasilitas keringanan bahkan pembebasan pajak tertentu (pasal 18) yang dielaborasi dengan detil dalam UUPM. Selain fasilitas diberikan pula kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah; fasilitas pelayanan keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor (pasal 21).
Tax Holiday vs Pemberantasan Korupsi
Sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 4 UUPM, baragam fasilitas yang diberikan berupa pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi, pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan, keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). ->apa ini gak kepanjangan mas? Gimana kalo kita sebut sebagian yg bersangkutan ama pajak aja? dan bilang antara lain sebagai berikut..
Investor yang bisa memperoleh keringanan adalah penanam modal baru yang merupakan industri pionir yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah, eksternalitas, tinggi, memperkenalkan teknologi baru serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional (ayat 5).
Pemberian tax holiday jelaslah ditujukan guna ‘mengiming-imingi’ investor berbondong-bondong menanamkan modalnya di Indonesia. Pertanyaannya, adakah strategi lain untuk memikat investor serta tetap mendatangkan pemasukan bagi negara dari pajak?
Penelitian yang dilakukan oleh Shang-Jin Wei (1997) menunjukkan korelasi positif antara korupsi dan minat investasi. Negara-negara dimana tingkat korupsi tinggi dan kronis, investor pun enggan menanamkan modalnya. Lebih dari itu, penurunan tingkat korupsi bisa disamakan dengan pemberian insentif pajak. Ia mencontohkan, jika India bisa menekan tingkat korupsi selevel Singapura, hal ini sama dengan memberikan keringanan pajak sebesar 22 persen. Angka yang fantastis.
Pekerjaan rumah yang terus terbengkalai dari pemerintah saat ini adalah pemberantasan korupsi. Jika program anti korupsi dengan slogan pemberian terapi kejut berjalan dengan efektif, pemerintah tidak perlu memberikan tax holiday kepada investor. Dengan tingkat korupsi yang rendah, investor akan terpincut dan tak segan menanamkan modalnya sementara pemerintah tetap mendapatkan pemasukan dari pajak yang berguna untuk membiayai pembangunan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan.
Tuan Tanah Baru
Dalam aspek penguasaan tanah, investor dapat mengajukan kepemilikan atas tanah untuk Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 tahun, Hak Pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya dapat diberikan dan diperpanjang serta diperbaharui dimuka sekaligus untuk rentang waktu yang sama. Luar biasa! Kenapa?
UUPM ini bahkan lebih dermawan dibandingkan dngan hukum agraria kolonial Belanda (Agrarische Wet 1870) yang hanya memberi izin 75 tahun bagi investor ditanah jajahan. Ironisnya lagi, UUPM bertabrakan dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang hanya berselang 2 bulan sebelumnya dipertahankan oleh Pemerintah dan DPR.
Mari kita tengok ketentuan dalam UUPA. Pasal 29 UUPA menyatakan "Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun".
Tambahan lagi, pada pasal 30 Ayat 1 UUPA diterangkan bahwa "Yang dapat mempunyai HGU ialah: (a) warga-negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia". Jelaslah orang asing maupun perusahaan asing (multinasional) tidak diperbolehkan memiliki HGU.
Sungguh ironis, di negeri sendiri, banyak warga negara yang tidak memiliki hak penguasaan atas tanah dan bahkan menjadi gelandangan. Bukan tidak mungkin UUPM malah mendatangkan konflik pertanahan yang kerap terjadi semasa Orde Baru dimana wong cilik digusur atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Juga, dengan adanya 2 peraturan setingkat undang-undang yang saling bertentangan, mana yang akan dijadikan acuan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan ijin hak penguasaan atas tanah?.
Investasi nir Kewajiban
Dalam UUPM tersurat secara jelas keputusasaan negara dalam menggerakkan perekonomian. Investasi – utamanya asing- dijadikan primadona untuk memutar roda perekonomian. Tidak heran jika kewajiban dan tanggung jawab perusahaan dibuat secara abstrak dan mengambang. Lihat saja aspek tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance - GCG). GCG hanyalah mantra baru yang kosong tanpa ada elaborasi lebih lanjut. Padahal, prinsip transparansi, kepedulian terhadap semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan akuntabilitas adalah krusial guna penciptaan iklim usaha yang sehat dan produktif.
Prinsip transparansi berkaitan dengan arus informasi yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sehingga pengelolaan suatu usaha dapat dipantau dan informasi yang ada dapat digunakan dalam mengambil keputusan dengan tepat. Lebih spesifik hal ini berkaitan dengan penungkapan informasi keuangan dan non keuangan kepada publik secara akurat dan bertanggung jawab. Dengan adanya keterbukaan terhadap informasi keuangan, pemerintah dapat mengambil tindakan mencegah praktek manipulasi keuangan, penghindaran pajak, serta praktek transfer pricing.
Kepedulian terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders) berkaitan dengan pandangan bahwa penanam modal tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, lingkungan, pemerintah, dan kreditor. Perspektifnya tidak lagi sekedar tanggung jawab perusahaan (responsibility) akan tetapi kewajiban (liability). Sayangnya dalam UUPM tidak dijelaskan secara detil mengenai perlindungan terhadap buruh dan konservasi lingkungan.
Akuntabilitas keuangan merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Jika penanam modal tersebut menggunakan modal tambahan dari sektor perbankan, misalnya, maka sudah seharusnya mereka memberikan pertanggungjawaban yang memadai, baik dari segi pelaporan keuangan, aktivitas maupun penunaian kewajibannya. Jangan sampai terjadi praktik penyalahgunaan kredit dan manipulasi laporan keuangan yang berbuntut kepada kredit macet. Sudah cukup mimpi buruk pinjaman BLBI yang menguap tanpa bekas.
Penutup
Keberadaan UUPM tentunya disambut meriah oleh pemodal. Beragam kemudahan diobral demi mengiming-imingi investor tanpa diikat dengan aturan main yang ketat. Tidak hanya kemudahan perijinan, fasilitas tax holiday serta hak penguasaan atas tanah dengan gamblang menegaskan ketidakberdayaan kita dalam memepertahankan kedaulatan ekonomi. Tidak jelasnya aturan yang berkaitan dengan tata laksana perusahaan yang baik dan tanggung jawab sosial perusahaan, dapat mendorong terjadinya dominasi korporasi di atas kepentingan rakyat banyak. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Akankah sumber daya ekonomi kita tergadaikan kembali?
*Luky Djani – peneliti ICW
**Gatot Soepriyanto – Peneliti, sedang menempuh pendidikan Master di Graduate School of Business, Monash University, Australia.
Posted by Gatoso 8 comments
Labels: Artikel
Monday, June 04, 2007
Gatot Menjawab (5): Penelitian di BEJ dan Kualitasnya
[Ada hasil penelitian di Indonesia] yang berpendapat [bahwa] pasar modal di Indonesia tidak terlalu baik dijadikan sumber data buat penelitian karena data yang disajikan kurang bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya terjadi. [Tolong jelaskan maksudnya]
Mungkin yang dimaksudkan oleh penelitian tersebut dengan "kurang bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya terjadi" adalah berkaitan dengan hipotesa efisiensi pasar modal (efficient market hypothesis - EMH). EMH adalah sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa harga saham di pasar modal merupakan refleksi dari informasi historis, sekarang dan masa yang akan datang dari saham tersebut. Dengan kata lain, di pasar yang efisien, investor tidak bisa secara konsisten mendapatkan keuntungan lebih (abnormal return), karena tidak ada investor yang memiliki informasi yang lebih superior.
Lalu bagaimana kaitannya dengan studi akuntansi yang berlatar belakang emiten BEJ - yang notabene bukti EMH sulit untuk didapatkan - sehingga hasil penelitan pun manfaatnya menjadi minim? Ada 2 pendapat yang saling berlawanan berkaitan dengan hal ini.
Pertama, yang menyatakan bahwa riset akuntansi tetap bisa dilakukan kendati syarat EMH tidak bisa terpenuhi. Barth et al. (2001) - yang artikelnya bisa diunduh di blog ini, menyatakan bahwa hasil penelitian akuntansi di pasar modal tetap bisa dipercaya kesimpulannya karena kendati EMH tidak terpenuhi, harga saham yang ada sudah merupakan sebuah kesepakatan transaksi ( consensus belief) dari para investor yang ada. Dengan kata lain, harga saham merupakan refleksi dari mekanisme pasar yang ada.
Posted by Gatoso 31 comments
Labels: Q en A