by:
Luki Djani* Gatot Soepriyanto**
Suara Pembaruan
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/10/Editor/edit01.htm
Setelah bercokol lebih dari tiga dasawarsa, UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri (UU PMA No 1 Tahun 1967dan UU PMDN No 6 Tahun 1968) akhirnya diganti dengan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) yang baru, akhir Maret lalu. Menilik isi UUPM itu, setidaknya ada tiga catatan yang penting dikaji agar dinamika usaha dan perekonomian tidak terjerembab ke dalam berbagai masalah, yang bukan tidak mungkin justru menghambat investasi dan menumpulkan perekonomian. Tiga poin tersebut adalah pungli dan perizinan usaha, transfer pricing, dan terakhir money laundering.
Undang-undang baru mengisyaratkan percepatan dan kemudahan dalam pengurusan izin usaha melalui mekanisme satu pintu (Pasal 25 ayat 5). Upaya itu ditujukan untuk memotong bureaucratic red tape. Sebelumnya terdapat 12 prosedur, dan dibutuhkan waktu sampai 97 hari dalam pengurusan perizinan.
Penelitian Bank Dunia tiga tahun terakhir menunjukkan Indo- nesia jauh tertinggal dari negara-negara kompetitor dalam penciptaan iklim investasi yang sejuk. Perizinan usaha di Indonesia adalah yang terumit dari aspek prosedural, terlama waktu pengurusannya, dan termahal dalam biaya. Jangan heran jika banyak investor lebih memilih negara-negara tetangga yang lebih ringkas dan mudah proses perizinannya, selain memiliki daya tarik buruh murah dan aturan -semisal perburuhan dan lingkungan- yang longgar (lihat tabel).
Penelitian "Doing Business" dengan gamblang menunjukkan Thailand, ditilik dari prosedur perizinan, menerapkan prosedur teringkas, hanya delapan tahapan. Pun untuk ongkos memulai usaha dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk, Negara Gajah Putih tersebut adalah yang termurah, hanya 5,8 persen. Dari sisi waktu, Malaysia mengungguli dengan rentang terpendek 30 hari. Dari tabel di atas, Tiongkok paling getol dalam mereformasi perizinan selama tiga tahun belakangan.
Laporan Bank Dunia memang tidak memotret "jalur khusus" dalam pengurusan perizinan usaha. Dengan "pelicin", segenap prosedur dan waktu akan dipersingkat, tentunya ongkos pengurusan menjadi lebih mahal. Adanya invisible hand dalam memperlancar perizinan sering kali dikeluhkan oleh usahawan karena tiadanya kepastian perizinan dan menambah beban biaya. Hambatan di awal investasi sering membuat frustrasi pelaku bisnis dan ujung-ujungnya mereka enggan berinvestasi di Indonesia. Akankah dengan UUPM ini momok di awal investasi bisa diatasi? Mari kita tunggu realitanya di lapangan.
"Money Laundering"
UUPM tidak secara seksama menyaring praktik pencucian uang (money laundering). Alih-alih, investor diminta bertanggung jawab atas modal yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 16), tanpa adanya mekanisme monitoring dan pencegahan. Padahal, praktik ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian negara seperti fluktuasi permintaan uang, fluktuasi aliran keluar masuk modal dan meningkatkan volatilitas suku bunga serta nilai tukar uang (Camdessus, 1998). Terlebih, praktik pencucian uang juga mendistorsi ranah politik dan pemerintahan karena uang haram tersebut dapat digunakan untuk menyuap pejabat.
Pasal 8 ayat 3 menyebutkan "penanam modal diberikan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing...", terhadap antara lain dana modal, dana pembayaran pinjaman, royalti, hasil penjualan atau likuidiasi penanaman modal serta kompensasi atas kerugian dan pengambilalihan.
Kemudahan perpindahan kapital sejatinya bertujuan memudahkan investor dalam memobilisasi dananya dari dan ke Indonesia. Namun demikian, patut dicermati pula, kemudahan tersebut juga membuka potensi masuknya dana-dana haram hasil kejahatan dan bisnis ilegal dalam sistem keuangan Indonesia. Apalagi sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan mengenai transfer dana secara elektronik, yang dapat mengatur tata cara perizinan, penyelenggaraan transfer, serta sanksi transaksi cybercash tersebut.
Mendesak kebutuhan untuk merancang jaring pengaman agar kemudahan berinvestasi tidak dijadikan peluang guna mencuci dana- dana ilegal. Kita bisa mencontoh beberapa negara yang telah memiliki daftar sektor investasi yang rentan terhadap praktik money laundering, transfer dari negara dan lembaga penyedia jasa keuangan yang patut dicurigai, serta daftar hitam individu maupun kelompok usaha tertentu. BKPM harus melaporkan segenap data investasi kepada PPATK agar dapat diperiksa lebih lanjut, apakah aktivitas tersebut termasuk kategori transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction report).
Minimalisasi Pajak
Salah satu praktik nakal yang kerap dilakukan investor asing melalui perusahaan multinasionalnya adalah minimalisasi pembayaran pajak via transfer pricing. Transfer pricing merujuk pada tindakan mengalokasikan laba dari entitas perusahaan di satu negara ke entitas perusahaan di negara yang lain, dalam satu grup perusahaan, dengan tujuan meminimalisir bahkan menghindari pajak.
Dengan memindahkan laba bahkan sampai merugi dalam catatan pembukuan keuangan perusahaan, secara otomatis entitas usaha tersebut tidak dapat dikenakan pajak. Sungguh aneh jika ada perusahaan yang pesat perkembangan usahanya akan tetapi menyatakan rugi bertahun-tahun dan tidak bisa bayar pajak.
Praktik transfer pricing banyak terkait dengan kegiatan ekspor dan impor. Semisal, perusahaan garmen yang membuat pakaian jadi di Indonesia, kemudian diekspor ke perusahaan yang masih satu grup di luar negeri. Sementara, bahan baku pembuat pakaian jadi diimpor dari perusahaan satu grupnya di mancanegara. Selanjutnya, harga beli bahan baku dan harga jual pakaian jadi tersebut direkayasa agar laba perusahaan menjadi minimal sehingga minim pembayaran pajaknya.
Praktik transfer pricing sangatlah kompleks karena dalam banyak kasus bukti dokumen transaksinya ada di luar yurisdiksi Indonesia, sehingga menyulitkan aparat pajak melakukan koreksi. Tambahan lagi, tidak adanya data perilaku biaya normal untuk mayoritas industri di Indonesia, membuat praktik transfer pricing makin sulit dideteksi.
Dengan adanya keterbukaan terhadap informasi keuangan dan basis data biaya ekspor dan impor sesuai pasar, pemerintah dapat mengambil tindakan pencegahan atas praktik transfer pricing, antara lain lewat penggunaan single document system untuk perpindahan barang antarnegara. Selain itu, perlu dipasang rambu-rambu khusus antipenghindaran pajak, di mana Dirjen Pajak memiliki wewenang untuk menentukan besar kecilnya penghasilan kena pajak secara wajar dan lazim tanpa terpengaruh adanya praktik transfer pricing.
Keinginan menggebu untuk menarik investasi sepatutnya diimbangi dengan tindakan preventif guna mencegah hambatan yang bukan tidak mungkin malah mencederai perekonomian negara. Jaring pengawasan atas manipulasi usaha dan pencucian uang digelar guna mencegah manipulasi dan masuknya uang haram. Perbaikan layanan perizinan adalah hal mutlak selain pemberantasan korupsi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
*Luky Djani – peneliti ICW
**Gatot Soepriyanto – Peneliti, sedang menempuh pendidikan Master di Graduate School of Business, Monash University, Australia.