Monday, November 27, 2006

Kebijakan Regulator dan Riset Audit di US: Air dan Minyak

Ada 2 teori utama dalam bidang akuntansi: positive dan normative accounting theories. Yang pertama berusaha menjelaskan dan memprediksi trend praktik akuntansi, sementara yang kedua berusaha untuk memberikan saran atau ide baru terhadap praktik yang ada. Dengan kata lain, positive accounting theory bersifat deskriptif dan prediktif sementara normative accounting theory lebih bersifat terapan.

Ada satu bagian menarik dari paper yang ditulis oleh Francis (2004) "What do we know about audit quality?", yaitu tentang keterkaitan antara kebijakan regulator di Amerika dengan riset audit yang dilakukan oleh para akademisi di sana. Francis berargumen bahwa sampai saat ini kebijakan yang diambil oleh regulator sama sekali tidak mengindahkan atau mempertimbangkan hasil riset yang telah dilakukan oleh para akademisi. Padahal, kualitas riset para akademisi di sana sudah tidak diragukan lagi kualitasnya baik dari segi metodologi maupun research setting-nya.

Contoh dari ketidaksinkronan antara kebijakan dan riset audit di US, seperti di jelaskan Francis, antara lain berkaitan dengan (1) pelarangan pemberian jasa non audit oleh auditor kepada klien-nya dan (2) rotasi audit partner setiap 5-7 tahun sekali. Regulator berkeyakinan bahwa pemberian jasa non audit oleh auditor kepada kliennya dan masa audit partner yang panjang (long audit partner tenure) akan mempengaruhi independensi auditor dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas audit. Seperti kita tahu, kebijakan tersebut merupakan reaksi dari regulator

Tapi, hasil riset audit menyatakan hal yang lain. Riset yang dilakukan untuk melihat apakah pemberian jasa non audit oleh auditor kepada kliennya akan mempengaruhi kualitas audit (antara lain diukur dari earning management, kemungkinan dikeluarkannya going concern opinion saat perusahaan kesulitan keuangan) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan di antara keduanya. Sementara berkaitan dengan long audit partner tenure dan menurunnya audit quality , tidak pula ditemukan bukti yang kuat di antara keduanya (Carey and Simnett, 2006).

Ada beberapa alasan mengapa riset audit memiliki pengaruh yang lemah terhadap kebijakan regulator di US. Dari sisi akademisi, antara lain riset yang dilakukan oleh para akademisi di sana kurang memperhatikan keterkaitan antara hasil riset dengan implementasi kebijakan, dengan kata lain, terlalu mengedepankan positive accounting theory dibandingkan normative accounting theory-nya. Alasan lainnya adalah bahwa banyak akademisi ternama di sana muncul dari 'geng' Chicago school of economics yang terkenal kritis terhadap pemerintah, sehingga cenderung bias. Alasan terakhir adalah berkaitan dengan tidak independennya para akademisi. Mereka cenderung digunakan sebagai apologist bagi kegagalan yang dilakukan oleh The Big Four, karena memang kebanyakan research funding mereka didanai oleh perusahaan2 tersebut. Dari sisi regulator, penyusunan kebijakan yang dilakukan lebih mengarah kepada political process dibandingkan scientific process, sehingga tak heran hasil riset yang dilakukan oleh para akademisi, tidak menjadi pertimbangan mereka.

Bagaimana di Indonesia?
Seiring dengan semakin banyaknya masukan dari para akademisi yang digunakan dalam menyusun sebuah kebijakan terutama di Australia, Canada dan UK, menerbitkan harapan bahwa hal tersebut juga mungkin bisa dicapai di Indonesia kelak. Apalagi jika memang tradisi diskusi intelektual dan bertambahnya generasi muda yang mengenyam pendidikan tinggi, sudah mulai meningkat di Indonesia. Hal ini yang menggugah semangat saya untuk lebih bisa memandang suatu proses atau fenomena dari sudut yang lebih scientific dibandingkan hanya berdasarkan dugaan atau anekdot belaka. Setidaknya, kita memberikan kontribusi pada bangsa atas apa yang kita miliki.

Sunday, November 26, 2006

Kenapa Ada Audit? Penjelasan dari Sisi Penawaran

Jasa audit merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Sisi penawaran dalam jasa audit direpresentasikan oleh adanya industri audit yaitu: kantor akuntan publik. Pertanyaannya, bagaimana riset di bidang auditing menjelaskan sisi penawaran jasa audit?

Ada beberapa area riset yang muncul dalam rangka menjelaskan fenomena yang ada di audit terutama dari sisi penawaran. Berikut ringkasan dari area studi-studi tersebut.
1) Struktur Pasar Jasa Audit
Jasa audit 10-15 tahun yang lalu didominasi oleh 8 akuntan publik besar dunia (the big eight), setelah adanya merger di antara mereka, kantor akuntan publik dunia pun menjadi 5 (the five 5), sampai kemudian menjadi 4 (the big four) pasca kolapsnya Arthur Andersen karena kasus Enron di US. Studi menunjukkan bahwa pasar audit yang didominasi oleh beberapa perusahaan tersebut ternyata tidak beroperasi secara oligopoli (Yardley et al 1992). Bukti yang menunjukkan hal tersebut antara lain karena adanya ketidakstabilan dalam pangsa pasar jasa audit (market share perusahaan2 besar tersebut berubah-ubah dari waktu ke waktu) dan fenomena lowballing (adanya diskon terhadap fee audit dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan2 audit tersebut).
2. Audit Fee Model
'Dewa' yang pertama kali memformulasikan faktor-faktor yang mempengaruhi fee audit adalah Simunic (1980). Ia membuat model yang menyatakan bahwa fee audit ditentukan oleh besar-kecilnya perusahaan yang diaudit (client size), risiko audit (atas dasar current ratio, quick ratio, D/E, litigation risk) dan kompleksitas audit (subsidiaries, foriegn listed). Model inilah kemudian yang dijadikan acuan untuk melihat fenomena di seputar penawaran jasa audit.
3. Audit Fee Premium
Studi yang dilakukan antara lain melihat apakah perusahaan audit besar (the big eight) mendapatkan fee audit lebih besar (faktor brand name) dibandingkan dengan perusahaan non big eight. Juga dilihat apakah perusahaan audit yang merupkan industry specialist (faktor keahlian audit di industri tertentu) mendapatkan fee audit yang lebih tinggi dibandingkan non industry specialist. Craswell et al (1995) menemukan bahwa faktor brand name (big eight vs non big eight) memberikan kontribusi fee audit sekitar 30% bagi perusahaan audit besar di pasar audit Australia, sementara industry specialist auditor mendapatkan premi sekitar 34% dibandingkan non industry specialist auditor di Australia. Singkatnya, studi tersebut menemukan keterkaitan antara premi fee audit dengan brand name dan industry specialisation.

Bagaimana di Indonesia?
Ketiga area studi di atas saya yakini bisa dilakukan di Indonesia. Menarik untuk disimak hasil studi tersebut di Indonesia, karena menurut pendapat saya, kompetisi pasar audit di Indonesia juga sangat ketat dan tidak hanya didominasi oleh 'Big Four' saja. Alasan saya, karena pasar audit di Indonesia masih cost focus dibandingkan brand/quality focus. Menarik juga untuk dilihat apakah fee audit auditor di Indonesia juga mencerminkan tingkat kompleksitas audit dan risiko yang ada.

Sunday, November 19, 2006

Kenapa Ada Audit? Penjelasan dari Sisi Permintaan*

Banyak orang yang berpikir bahwa audit terhadap laporan keuangan perusahaan timbul, karena ada keharusan dari regulator atau dengan kata lain disyaratkan peraturan tertentu. Namun, bukti empiris menunjukkan bahwa tuntutan dari regulator bukanlah faktor yang menentukan kebutuhan akan audit. Chow (1982) mendokumentasikan bahwa pada tahun 1926 sebelum adanya peraturan yang mengharuskan perusahaan melakukan audit terhadap laporan keuangannya, 82% dari perusahaan yang listed di bursa saham New York, secara sukarela telah menerbitkan laporan keuangan yang telah diaudit. Lalu, faktor apa yang menentukan kebutuhan akan audit?

Agency Theory
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dipaparkan lewat agency theory. Teori ini menyatakan bahwa dalam pengelolaan perusahaan, selalu ada konflik kepentingan antara (1) Manajer dan pemilik perusahaan (2) Manajer dan bawaahan-nya dan (3) Pemilik perusahaan dan kreditor sehingga dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tadi. Dalam lingkup perusahaan, aktivitas pihak-pihak tadi dinilai lewat kinerja keuangannya (laporan keuangan). Lebih lanjut dalam agency theory, pemilik perusahaan membutuhkan auditor untuk memverifikasi informasi yang diberikan manajemen kepada pihak perusahaan dan sebaliknya manajemen memerlukan auditor untuk memberikan legitimasi atas kinerja yang mereka lakukan (dalam bentuk laporan keuangan), sehingga mereka layak mendapatkan insentif atas kinerja tersebut. Di sisi lain, kreditor membutuhkan auditor untuk memastikan bahwa uang yang mereka kucurkan untuk membiayai kegiatan perusahaan, benar-benar digunakan sesuai dengan persetujuan yang ada, sehingga kreditor bisa menerima bunga dan prinsipal dari pinjaman yang diberikan.

Bagaimana mengukur keterkaitan antara agency theory dan kebutuhan akan audit? Senkow et. al (2001), melakukannya dengan cara melihat faktor-faktor apa saja yang menentukan keputusan untuk mempertahankan jasa audit untuk perusahaan-perusahaan privat di Kanada(tidak listed di bursa saham) yang tidak lagi diwajibkan untuk melakukan audit menurut peraturan. Logikanya, saat perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melakukan audit terhadap laporan keuangannya, tentu mereka akan memilih untuk tidak menggunakan jasa audit dengan beragam alasan. Ternyata dari 201 perusahaan privat besar yang diteliti, 77% dari perusahaan tersebut tetap memilih untuk mempertahankan jasa audit walaupun peraturan memperbolehkan mereka untuk tidak menggunakannya. Alasan utama dibalik keputusan tersebut adalah (1) karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki perjanjian pinjaman dengan kreditor dan (2) tingginya persentase fee audit terhadap pendapatan perusahaan. Alasan yang pertama mengacu kepada agency theory yang mana kreditor tetap membutuhkan laporan keuangan auditan sebagai syarat peminjaman. Sedangkan alasan yang kedua mengacu kepada asumsi bahwa semakin tinggi persentase fee audit terhadap pendapatan perusahaan, maka semakin dipandang menguntungkan/bermanfaat proses audit tersebut.

Information Theory
Alasan tentang adanya audit bisa juga dijawab dengan information theory. Teori ini menyatakan bahwa informasi auditan sangat bermanfaat bagi keputusan investasi. Oleh karena itu, permintaan akan adanya audit timbul dari kebutuhan akan adanya informasi yang berkualitas, karena hal tersebut pada akhirnya dipercaya akan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, studi Blackwell et al (1998) mendokumentasikan keterakitan antara teori ini dengan permintaan adanya audit. Blackwell et al (1998) memeriksa keterkaitan antara penggunaan jasa audit oleh perusahaan privat yang meminjam dana dari bank dengan rendahnya bunga pinjaman yang dikenakan terhadap perusahaan tersebut. Lebih lanjut, Blackwell et al, menemukan bahwa perusahaan privat yang meminjam dana dari bank tersebut mendapatkan pengurangan tingkat bunga pinjaman sebesar 25 basis poin (0.25 %) dari setiap 28-50% fee audit yang mereka keluarkan. Hal tersebut menandakan bahwa bank memberikan diskon bunga pinjaman kepada perusahaan yang memilih untuk menggunakan laporan keuangan auditan dibandingkan perusahaan yang tidak melakukannya.

Insurance Theory (Hypothesis)
Teori ini mejelaskan bahwa auditor memberikan suatu bentuk proteksi atau asuransi kepada investor. Sehingga apabila terjadi kegagalan dalam audit, investor memiliki hak untuk melakukan klaim kerugian terhadap auditor. Teori ini bisa didukung oleh fakta bahwa hak-hak investor sangat dilindungi sekaligus asumsi bahwa auditor memiliki banyak uang (deep pocket) untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh kegagalan audit mereka. Studi Menon dan Williams (1994) menjelaskan lebih lanjut adanya teori ini. Mereka memeriksa keterkaitan antara bangkrutnya Laventon & Howarth (LH) di tahun 1990, sebuah kantor akuntan publik terbesar ke tujuh di Amerika, dengan jatuhnya harga saham perusahaan-perusahaan yang diaudit oleh LH. Mereka menemukan dalam periode 19-20 November 1990 di mana LH menyatakan kebangkrutannya, saham klien-klien perusahaan tersebut mengalami negative abnormal return yang signifikan dibandingkan dengan saham-saham perusahaan lainnya. Ini menunjukkan bahwa pasar merespon negatif berita yang menyatakan bahwa LH mengalami kebangkrutan dan salah satu alasan respon negatif tersebut adalah karena LH tidak dapat lagi memberikan asuransi atau proteksi terhadap klien-klien yang mereka audit.

Bagaimana di Indonesia?
Menarik untuk dilihat lebih lanjut tentang bagaimana ketiga teori tersebut menjelaskan fenomena permintaan audit di Indonesia, karena ada kemungkinan hasil studi di atas hanyalah country specific result. Untuk agency theory, mungkin membutuhkan regulation setting yang sama dengan kondisi studi di Kanada. Dan untuk hal tersebut, saya belum bisa menemukan jawabannya. Sementara untuk insurance hypothesis, saya rasa akan sangat sulit untuk diobservasi, karena masih kurangnya perangkat hukum yang melindungi investor dari kerugian karena informasi yang menyesatkan. Tambahan lagi, sangat jarang ada perusahaan akuntan publik yang bangkrut karena terlalu banyak menerima klaim hukum dari pihak-pihak yang dirugikan. Saya rasa hanya information theory, saja yang kemungkinan besar bisa diobservasi di Indonesia. Namun demikian diperlukan data dan kerja sama dengan pihak kreditor (bank) untuk melaksanakan penelitian tersebut.

*Untuk mereka yang menghabiskan waktunya menjadi auditor dan para akuntan yang mempersiapkan data buat auditor.

Saturday, November 18, 2006

Transaksi Spin-off Lapindo: Ada Udang Di Balik Lumpur?

Panasnya lumpur Lapindo ternyata mulai menyentuh diskusi seputar corporate finance, setelah sebelumnya berputar di sekeliling isu corporate social responsibility, yang mana Lapindo telah gagal memberikan tanggung jawab sosial yang memadai terhadap lingkungan sekitar. Hal ini terkait dengan rencana spin off (pemisahan anak usaha lewat penjualan kepemilikan) Lapindo Brantas Inc dari perusahaan induknya PT Energi Mega Persada (EMP) Tbk.

Dijual US$2
Seperti diberitakan berbagai media, PT EMP berencana akan menjual kepemilikan mereka di Lapindo kepada Lyte Ltd dengan harga US$2. EMP melepas Lapindo melalui dua anak usahanya yaitu Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd.

Lyte Ltd sendiri termasuk perusahaan kelompok Group Bakrie yang berdomisili di Kepulauan Jersey (Inggris) dan didirikan 17 Januari 2006. Perusahaan ini sendiri sedang dalam proses ganti nama menjadi Bakrie Oil and Gas Ltd serta memiliki modal dasar 10,000 poundsterling.

Transaksi tersebut kemudian mengundang banyak kontroversi. Tak heran jika Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), otorita yang mengawasi perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Jakarta (tempat di mana EMP terdaftar) mulai melakukan investigasi terhadap transaksi tersebut. Seperti apa kontroversi dan dampak dari transaksi tersebut?

Ingin ‘Cuci Tangan’?
Pertama, berkaitan dengan motivasi transaksi spin off tersebut. Ada skenario ‘cuci tangan’ tanggung jawab Lapindo terhadap persoalan banjir lumpur yang ditimbulkannya. Dengan menjual Lapindo ke Lyte Ltd maka beban tanggung jawab pengelolaan lumpur panas tersebut bisa berpindah ke perusahaan baru tersebut. Lapindo yang tadinya disokong oleh PT EMP dalam mendanai beban kerugian yang timbul, kini berganti ‘donatur’.

Masalahnya, seberapa bonafide Lyte Ltd untuk mendukung Lapindo dalam menanggung biaya kerugian yang ditimbulkan banjir lumpur di Sidoarjo? Jika ditengok dari modal Lyte Ltd yang hanya 10,000 pounds dukungan keuangan perusahaan pengambil alih Lapindo tersebut layak untuk dipertanyakan.

Lebih lanjut, jika transaksi tersebut benar-benar terjadi, maka dampak selanjutnya bisa cukup ‘mengerikan’. Lapindo yang sudah keluar jutaan dollar untuk kompensasi musibah lumpur tersebut bisa saja mempailitkan dirinya sendiri dan kemudian menyerahkan tanggung jawab ganti rugi kepada induknya, dalam hal ini Lyte Ltd. Lalu karena Lyte memiliki modal yang sangat terbatas, perusahaan tersebut juga bisa menyatakan dirinya bangkrut.

Karena keduanya adalah perusahaan perseroan terbatas (PT), maka kewajiban mereka terhadap pihak ketiga juga terbatas, sehingga jika mereka bangkrut, maka klaim kerugian lumpur panas Lapindo tidak bisa dibebankan lagi. Lebih mengkhawatirkan lagi, Lyte Ltd berada di kepulauan Jersey (Inggris) yang jurisdiksinya tidak berada di bawah Indonesia, sehingga segala tuntutan hukumnya harus melewati arbitrase internasional.

Seterusnya, jika memang benar ada motivasi Lapindo untuk cuci tangan seperti skenario di atas, maka pihak yang harus menanggung akibatnya adalah Pemerintah dan rakyat kebanyakan tentunya. Atau seperti kata peribahasa, Lapindo yang memakan nangkanya, pemerintah dan rakyat Indonesia yang terkena getahnya.

Mengapa $US2?
Kedua, tentang kelayakan transaksi spin off tersebut. Berdasar penilaian Trustel Capital selaku penilai independent yang ditunjuk, nilai wajar kepemilikan Kalila dan Pan Asia (sebagai anak perusahaan EMP yang menguasai Lapindo) per 30 Juni 2006 adalah sebesar negative $US 22,815 juta dan negative $US208,005 ribu. Atas dasar penilaian tersebut, maka Lapindo hanya dijual sebesar $US2 kepada Lyte Ltd. Pertanyaannya, sudah wajar dan tepatkah penialaian tersebut? Atau harga transaksi tersebut hanya merupakan ‘akal-akalan’ EMP saja aga mereka tetap bisa melakukan divestasi tanpa persetujuan pemegang saham minoritas?

Hal tersebut bisa dilakukan karena memang mekanisme RUPS juga tidak disyaratkan, karena transaksi dengan total nilai US$ 2 dolar atau setara dengan Rp 18.300 pada kurs Rp 9.100 jauh di bawah ketentuan pasar modal. Nilai penawaran US$ 2 juga masih jauh dari 10 persen total ekuitas dan 20 persen total penerimaan EMP.

Kepentingan EMP
Ketiga, kaitan antara transaksi spin-off dan kinerja EMP. EMP melepas Lapindo dengan tujuan agar kinerja keuangannya tidak terbebani Lapindo, mengingat EMP adalah perusahaan publik di BEJ yang performa bisnisnya terus menerus dipantau para investor. Namun demikian, semua pihak yang memeriksa EMP dan Lapindo hendaknya juga waspada dengan risiko di balik transaksi spin off ini. Salah satunya masalah pengakuan biaya (expense recognition). Harus dapat diidentifikasi secara jelas biaya Lapindo yang dibebankan sebelum perusahaan tersebut dilepas. Jangan sampai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh EMP untuk menangani masalah lumpur Sidoarjo kemudian dibebankan saja kepada Lapindo untuk kemudian kerugiannya ditransfer kepada pemilik baru.

Skenario di atas tidak mustahil dilakukan, karena Lapindo digunakan sebuah perusahaan khusus penanggung kerugian, sehingga pada akhirnya EMP terbebas dari beban biaya lumpur Lapindo dan bisa tetap menunjukkan performa keuangan yang baik. Sebagai catatan Enron menggunakan teknik ini dalam menyembunyikan hutang2 yang membelitnya.

Sebagai tambahan, keinginan EMP untuk memperbaiki kinerja keuangannya dengan menjual Lapindo mungkin juga terkait dengan rencana mergernya dengan Bumi Resources Tbk, perusahaan grup Bakrie yang juga bergerak di bidang energi.

Perkembangan Terbaru
Rencana penjualan Lapindo ke Lyte Ltd akhirnya diubah dengan jalan menjualnya ke pihak Freehold Group Limited, perusahaan investasi yang berbasis di British Virgin Island. Freehold diklaim sebagai perusahaan yang tidak memiliki afiliasi ke Bakrie Group dan dikenal sebagai perusahaan yang lihai memperbaiki kinerja perusahaan yang terpuruk. Anehnya, walaupun Freehold sudah mengambil alih Lapindo dari EMP, salah satu grup Bakrie yaitu Minarak Labuan masih membantu Freehold untuk menyediakan dana penanggulangan lumpur Lapindo sebesar $106 juta. Perkembangan terbaru ini makin menguatkan praduga ‘ada udang di balik lumpur' dari proses penjualan Lapindo.

Sebagai penutup, kita berharap agar Bapepam memiliki kecermatan dan kehati-hatian dalam menghadapi transaksi ini, mengingat begitu banyak kepentingan dan skenario yang ada di dalamnya. Pada akhirnya kita semua ingin agar siapapun pihak yang terlibat dalam bencana semburan lumpur Lapindo, harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap masalah tersebut. Jangan sampai pihak-pihak tersebut ‘cuci tangan’ dari masalah dan membiarkan rakyat kebanyakan menanggung akibatnya.
***
Sumber: detikfinance.com, tempointeraktif.com, majalahtrust.com, arthanusa.com

Friday, November 03, 2006

Pengalaman Belajar di Oz (2): Dag Dig Dug Exam.

Photobucket - Video and Image Hosting
Macem-macem sindrom yang aku alami sebelum ujian berlangsung. Dari yang gak bisa tidur, gak nafsu makan, mual2, sakit perut pengen ke toilet, kebelet pipis terus, sampai badan menggigil kedinginan karena grogi.
***
Alasan Sindrom

Risiko jadi mahasiswa lagi (master) adalah harus siap menghadapi tumpukan tugas2 (assignments) dan ujian semesteran (sit-in examination). Sebagian rekanku cukup sibuk menghadapi tumpukan tugas2, baik itu berupa report, essay atau research project, tanpa harus memikirkan ujian semesteran. Sebaliknya di fakultasku, tumpukan tugas2 dan exam menyumbang proporsi yang hampir sama untuk nilai akhir kita (50-50 or 60-40 biasanya).

Nah, karena aku setiap semesternya mengambil empat mata kuliah, maka dalam 2 semester ini, aku sudah menghadapi 8 kali sindrom ujian yang sudah aku sebutkan di atas. Kenapa bisa kena sindrom begitu? Buatku, macam2 alasannya. Pertama, karena memang mata kuliahnya sulit buat dihadapi. Ini kasus yang terjadi waktu aku di semester 1 di mana aku "terpaksa" mengambil 3 mata kuliah finance. Karena mata kuliahnya sulit, otomatis waktu belajar juga harus lebih banyak dialokasikan (secara akuntan harus belajar ilmu financial analyst!). Parahnya, semakin banyak belajar, malahan semakin banyak yang lupa dan rasanya gak pernah siap buat menghadapi ujian.

Kedua, karena diri sendiri yang gak disiplin. Kebiasaan sistem belajar "kebut semalam ato SKS" (istilahnya di sini cramming), membuat aku baru konsen belajar kalo sudah 1 atau 2 hari sebelum ujian. Celakanya, begitu hari H ujian semakin dekat, aku terlambat menyadari bahwa materi yang harus dicover masih banyak. Jadinya sindrom ujian tadi langsung muncul.

Ketiga, masalah bahasa. Ini masalah yang sampai sekarang belum bisa aku pecahkan. Kadang saat belajar, aku mengerti inti dan ide dari bahan yang aku pelajari. Eh, dodolnya, begitu duduk pas ujian, semua topik yang sudah aku pahami tadi tiba2 menjadi sangat sulit untuk aku tulis dalam rangakaian jawaban in english. Jadinya jawabanku serba carut marut dan gak fokus, semua karena masalah bahasa tadi. Terus? Solusi sementara waktu adalah dengan cara menghafal ide inti topik yang aku pelajari plus kata2 penting di ide inti tadi guna mempermudah aku dalam menuangkan ide2 tadi ke dalam kertas ujian. Repot gak sih? hihihi.

Keempat (wuih kok banyak amat), adalah masalah menulis. Aku paling males suruh nulis. Zaman komputer gini, sudah pasti semuanya serba diketik di komputer, eh...giliran ujian, tulisan tangan kita yang harus jadi andalan. Jangan bayangin nulis jawaban ujian itu cuma dalam 4-5 lembar kertas yah, jawaban ujianku itu bisa sampai 15 lembar halaman kertas dengan tulisanku yang relatif kecil2. Alasannya memang karena soal2 ujianku jarang (bukan berarti gak ada) yang sifatnya open question (definisi, menyebutkan perbedaan atau hal2 yang umum) tetapi cenderung ke analisis ide2 dan elaborasi ide-ide perkuliahan ke kasus2 yang diberikan di soal ujian. Pernah satu mata kuliah, bahan ujiannya tentang mendesain propsal untuk projek riset. Mau tahu berapa lembar yang aku tulis? 8 lembar aja tuh....Kebayang kan stress-nya gimana?

Suasana Ujian

Ujianku kebanyakan di laksanakan di Caulfield (cuma sekali di Exam Hall kampus Clayton), tepatnya di arena pacuan kuda (racecourse) Caulfield. Jadi lokasi ujian bukanlah di ruang perkuliahan macam aku dulu di UGM. Ada 2 jadwal ujian setiap harinya, pagi mulai pukul 09.30 dan siang mulai pukul 02.30. Ruangan ujian sendiri baru dibuka sekitar 10 menit menjelang ujian. Tiap peserta duduk di 1 meja dan 1 kursi khusus. Jarak antara depan dan belakang hanya dipisahkan meja saja, sementara jarak kiri dan kanan kira2 setengah meter.

Selama mengikuti ujian, kami dilarang membawa handphone di saku (kalo ketahuan akan didenda $300 di tempat) dan handphone harus dimatikan. Di atas meja kita, hanya boleh ada alat tulis, kalkulator dan student ID. Kotak pensil atau cover kalkulator sama sekali gak diperbolehkan. Karena ujiannya rata2 3 jam maka kita diperbolehkan taruh minum dan sedikit makanan kecil di meja. Tas harus letakkan di bawah dan harus jauh dari jangkauan tangan kita. Untuk kalkulator, fakultasku hanya memperbolehkan beberapa jenis kalkulator aja yang bisa dibawa ke ruang ujian (a.l yang aku pake: Sharp EL735). Semua jenis kalkulator tadi tidak bisa menyimpan memori rumus2, makanya boleh dipake.

Kertas jawaban ujiannya berbentuk boklet buku. Ada lembaran yang bergaris untuk nulis jawaban dan ada lembaran kosong untuk corat-coret (gak ada kertas burem yey di sini...:p). Sesuai dengan kebijakan blind marking, kebanyakan mata ujian melarang kita untuk nulis nama di kertas jawaban. Jadi yang ditulis cuma nomor mahasiswa dan nomor kursi kita. Tambahan lagi, soal ujian gak boleh dibawa pulang. Jadi harus dikumpulkan bersama2 dengan boklet jawaban. Reseh gak sih? Oya, sebelum memulai ujian, kita juga dikasih waktu 10 menit untuk membaca soal dan itu gak mengurangi waktu pengerjaan ujian kita (2-3 jam).

Bagaimana dengan pengawas ujiannya? Wuih, resehnya minta ampun. Aku gak tahu sih mereka dari mana, apakah staf admin Monash atau pengawas dari luar Monash, tapi yang pasti galaknya minta ampun. Semasa ujian kita gak boleh bergerak yang aneh2. Kalo mau buka tas untuk ambil sesuatu, kita harus angkat tangan, untuk minta izin dari pengawas. Begitu juga kalo minta kertas tambahan atau minta izin ke toilet. Pokoke mau ngapain aja harus minta izin dulu ke mereka.

Para pengawas itu juga gak pernah diam di tempat. Mereka senangya berkeliling di antara para peserta dan memelototi meja kita satu persatu. Gak kalah serunya, setiap beberapa waktu, ada petugas pengawas yang masuk ke toilet terus meriksa2 toilet. Sepertinya mereka khawatir kita bakal lupa nge-flush toilet sehabis pipis...:p.

Aku punya pengalaman menarik dengan pengawas ujian. Pernah suatu ketika aku ditegur pengawas sampai 4 kali dalam 1 kesempatan ujian. Selain pengawasnya yang luar biasa reseh ada juga sih kontribusi kegrogian aku waktu itu. Jadi, pas waktu 10 menit untuk baca soal di mana kita dilarang menulis apa pun juga, aku secara reflek udah megang pena (padahal gak nulis apa2 loo..). Eh si pengawas langsung datengin aku dan bilang aku gak boleh nulis apa2 selama reading time. Kali kedua pas aku pengen pipis. Dasar udah kebelet, aku langsung ngacir aja ke toilet (biasanya juga gak papa sih...), eh selesai balik dari toilet, si pengawas (yang sama) langsung bilang kalo aku harus angkat tangan dulu minta ijin buat pergi ke toilet. Kali ketiga, pas aku ingin keluar dari ruang ujian sebelum waktu ujian selesai. Dasar keburu2 aku gak angkat tangan, tapi langsung kabur aja. Eh langsung ditanyain deh ama si pengawas (yang sama). Kali terakhir, pas lagi jalan keluar ruang ujian. Sambil jalan aku masukin alat tulis, botol minum en kalkulator ke tasku, eh si pengawas (lagi2 yang sama) datengin lagi aku lagi dan nyuruh masukin barang2 tadi di luar ruang ujian aja, dengan alasan aku bakal seliweran dan takut menganggu peserta yang lain (wtf???). Dasar dudull...
***