Sunday, September 24, 2006

Apakah Transfer Duo Argentina ke West Ham Bagian Dari Praktik Money Laundering?

Photobucket - Video and Image Hosting

Hasil 'investigasi' kecil2an beberapa waktu yang lalu. Kebetulan aku pernah nulis paper soal money laundering.
***
Beberapa jam sebelum deadline transfer pemain Liga Inggris, 30 Agustus 2006 berlalu, duo pemain timnas Argentina - Carlos Teves dan Javier Mascherano, dari klub Brasil Corinthians, dipastikan pindah ke West Ham, klub papan tengah Liga Primer Inggris. Hampir semua penggila bola di seluruh dunia tidak percaya dengan berita tersebut. Reputasi dan bakat kedua pemain yang menjadi tulang punggung Argentina di Piala Dunia 2006, begitu menjulang tinggi, sehingga hampir mustahil klub medioker macam West Ham bisa merekrut mereka. Tambahan lagi, detail transfer mereka pun sangat tertutup, tidak ada ekspos sama sekali. Spekulasi pun bermunculan berkaitan dengan transaksi tersebut, salah satunya adalah skema pencucian uang atau money laundering.
***
Kisah transfer kontroversial ini bisa dirunut dari cerita transfer mereka sewaktu di Corinthians Brasil. Akhir tahun 2004, tim papan atas Brasil tersebut mengumumkan bahwa mereka telah mengizinkan masuknya investasi asing ke klub tersebut. Investasi tersebut masuk via MSI (Media Sports Investment Ltd) pimpinan Kia Joorabchian-pengusaha Iran yang berbisnis di London. Selanjutnya bisa ditebak, layaknya Real Madrid di Liga Spanyol dan Chelsea di Liga Inggris, Corinthians mulai membelanjakan lebih dari $50 juta dollar untuk membeli pemain2 bintang Amerika Selatan. Para bintang itu antara lain: Carlos Tevez (harganya $20 juta dollar), Mascherano, Carlos Alberto, Marinho, Marcelo Mattos, Hugo, Sebastian Dominguez, Gustavo Nery sampai Roger dari Benfica. Ambisi Kia dengan MSInya cukup kencang: mewujudkan Manchester United atau Real Madrid ala Brasil. Tenar, kaya dan mendapat banyak trofi kesuksesan.
***
Siapa Kia dan MSInya? Media Brasil, yang tak kenal lelah melakukan investigasi, menemukan keterkaitan Kia dengan Boris Berezovsky, miliarder asal Rusia kroni pemerintahan Boris Yeltsin dulu. Boris Berezovsky dikenal sebagai pengusaha bertangan 'kotor' dengan banyak melakukan praktik2 bisnis ilegal dan bahkan dituduh sebagai penyebab kolapsnya perekonomian Rusia. Boris saat ini tinggal di London dan menjadi buruan pemerintahan Vladimir Putin. Sebagai catatan beberapa waktu lalu, di SBS Australia, sempat ada dokumentasi soal Boris ini, sayang aku waktu itu gak perhatiin, karena waktu itu memang belum tahu siapa dia sebenarnya. Lebih lanjut, Kia menyangkal keterkaitan dirinya dan MSI dengan Boris dan bisnis2nya, walaupun cukup banyak bukti2 yang membuktikan keterlibatan mereka berdua, termasuk alamat kantor mereka di London yang berdekatan dan deal2 bisnis yang kerap mereka lakukan. Bagaimana dengan pemerintah Brasil? Sayangnya, di negara yang birokrasinya masih korup, keterlibatan2 tersebut dan indikasi adanya money laundering menjadi tidak jelas lagi, karena sesuatu bisa diselesaikan lewat 'amplop coklat' .
***
Lalu di mana skenario money laundering-nya? oke, mari kita lihat. Dengan asumsi keterlibatan Kia dan Boris cukup dekat, yang artinya MSI dan Kia, dibiayai oleh uang dari Boris yang diklaim sebagai uang illegal oleh pemerintah Rusia, maka mereka coba 'mencuci' uang hasil kejahatan tersebut di Amerika Selatan (via Corinthians) untuk kemudian dikirimkan masuk lagi ke Eropa secara legal. Seperti analisisku tentang money laundering di sini, proses pencucian uang ada 3 tahap: Placement, Layering dan Integration.
- Tahap placement atau penempatan- dilakukan dengan cara mengeluarkan uang sebesar $50 juta via Kia dan MSInya untuk membeli saham Corinthians dan pemain2 top Amerika Selatan.
- Tahap layering - atau menutupi uang kejahatan - dengan jalan berinvestasi di klub sepakbola Corinthians dengan berbagai visi yang disebutkan sebelumnya. Dengan kata lain uang ilegal tadi 'dicuci' di bisnis sepakbola dengan klub sepakbola menjadi 'mesin cuci' nya sehingga uang kejahatan tadi bercampur dengan uang legal yang ada.
- Tahap integration - atau menyatukan uang hasil kejahatan dan dijadikan uang yang legal. Tahap ini dilakukan dengan cara mentransfer duo pemain Argentina dari Corinthians ke West Ham. Uang transfer pembelian mereka tersebut kemudian masuk ke rekening MSI (sebagai pemegang saham mayoritas Corinthians) di Eropa, sehingga sekarang uang itu kemudian menjadi bersih.
***
Singkatnya, jika para kriminal menyimpan uang $50 juta hasil kejahatan mereka di bank, jelas dengan mudah uang mereka akan diinvestagasi. Tapi dengan membelanjakan uang tersebut untuk membeli pemain sepakbola seharga $20 juta dan kemudian menjualnya lagi sebesar $10 juta (di Eropa misalnya), maka bisa dikatakan mereka sudah bisa mendapat keuntungan yang luar biasa besar, mengingat pengawasan praktik money laundering yang semakin ketat dewasa ini, membuat para kriminal sulit bergerak.
***
Informasi terbaru menyatakan bahwa Kia dan MSInya juga memiliki saham di West Ham (sekitar 15%), sehingga tak heran mereka begitu mudah 'memindahkan' Tevez dan Mascherano ke sana. Dengan kondisi tersebut, maka dipastikan bahwa tahap 'layering' dan 'integration' masih berlangsung. Skenario selanjutnya, Tevez dan Mascherano akan dijual dari West Ham ke klub raksasa Eropa yang lain (dan ini sangat mudah, karena sudah banyak klub yang ngantri untuk memakai jasa mereka), untuk kemudian MSI menerima uang dari klub-klub tersebut secara 'bersih'. Dan di-sini, proses money laundering-nya berakhir (dengan sukses). Perkembangan terbaru, menunjukkan bahwa Kia dan MSInya akan membeli saham West Ham secara penuh. Hal ini semakin mengisyaratkan bahwa West Ham akan dijadikan 'mesin pencuci' uang kedua setelah Corinthians.
***
Benar atau tidak analisis di-atas memang masih dapat dipertanyakan. Namun setidaknya, bukti-bukti menunjukkan adanya keterkaitan antara Kia dan MSInya, Corinthians, West Ham dan transfer duo Argentina- Tevez dan Mascherano sebagai bagian dari skema pencucian uang, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Sebagai tambahan, saat ini ada 2 klub Liga Inggris yang sudah dimiliki bilyuner Rusia; Chelsea dan Portsmouth, sementara West Ham sedang dalam proses dan Arsenal pernah didekati (walaupun kemudian ditolak mentah2). Sepakbola saat ini memang tidak melulu tentang gol, kemenangan dan piala, tapi sudah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Ironisnya, sepakbola yang kental dengan nilai sportivitas rawan terkotori praktik2 bisnis yang ilegal, macam money laundering ini. Semoga analisis di atas tidak sepenuhnya benar, sehingga kita masih bisa tersenyum menyaksikan Liga Inggris di layar kaca.
***
Sumber: sambafoot.com, tribalfootball, the sun.
Foto dari: www.telegraph.co.uk

Sunday, September 10, 2006

Akademisi vs Praktisi: Biarkan Tetap Apa Adanya

Sebuah otokritik atas pemikiranku dulu yang meyakini bahwa akademisi yang baik adalah akademisi yang mampu memberikan gambaran dunia nyata/praktik ke pada para mahasiswanya tidak melulu hanya gambaran teoritis belaka.
Disclaimer:
- tulisan ini lumayan panjang, jadi luangkan waktumu dulu sebelum membaca, biar idenya bisa ditangkap dengan jelas.
- cukup banyak istilah2 teknis di sini, yang mungkin di kesempatan lain akan dibahas satu persatu.
- kalo udah selesai dibaca, mohon komentarnya dari rekan2 sekalian. trims.

***
Berangkat dari rasa frustrasi saat mendapati kenyataan bahwa pengetahuan yang didapat di bangku kuliah ternyata sama sekali tidak banyak membantuku untuk bertahan di dunia kerja, aku (dan beberapa rekan2), kerap menyuarakan tuntutan bagi dunia pendidikan (baca universitas) untuk segera mereformasi sistem mereka. Lebih spesifik lagi, kami berharap agar dunia pendidikan mampu memperkecil jurang perbedaan antara apa yang diajarkan di bangku kuliah dengan kenyataan di dunia praktik. Dengan kata lain, selain memberikan teori2 dasar pengetahuan, sangat esensial juga bagi para dosen, untuk memberikan gambaran penerapan teori2 tersebut di dunia praktik. Di dunia akuntansi misalnya, jika bicara tentang penerapan konsep proses pelaporan keuangan, tidak ada salahnya sang dosen menggambarkan seperti apa proses pelaporan keuangan di perusahaan A, B atau C di Bursa Efek Jakarta misalnya. Jadi teori dan praktik selalu ada keterkaitannya.
***
Ternyata, keyakinan di atas, perlahan2 terkikis saat aku kuliah memasuki semester 2 di Oz ini. 2 semester yang aku lalui benar2 telah menyadarkan aku. Semester 1 kuliahku, begitu lekat dengan teori2 plus praktik2 di dunia nyata, sementara paruh 2 kuliahku saat ini lebih cenderung ke teori2 dan riset.
Apa yang membuatku sadar adalah kenyataan bahwa para praktisi adalah orang yang2 pragmatis, opportunistik dan cenderung subjektif. Para praktisi tidak peduli dengan teori yang ada di-jagat, yang terpenting adalah bagaimana mencapai tujuan (pragmatis), selalu memanfaatkan celah dan kesempatan yang ada untuk kepentingan pribadi atau kelompok (opportunis) dan selalu memandang sesuatu dari sudut pandang kepentingannya (subjektif).
Di sisi yang lain, para akademisi adalah sekelompok orang yang idealis, deskriptif dan lebih objektif. Akademisi cenderung untuk 'bermain' di-landasan teori, asumsi ceteris paribus tapi lebih objektif dalam memandang suatu fenomena.
***
Keberadaanku sebagai seorang (mantan) praktisi yang (akan) menjadi seorang akademisi, akhirnya menemukan sebuah titik keseimbangan kesadaran. Para akademisi akan selalu mencoba menjelaskan fenomena yang dihadapi para praktisi, sementara para praktisi akan memakai hasil penjelasan fenomena tsb (baca: hasil riset) sebagai bagian pengambilan keputusan mereka. Tidak ada dikotomi, yang ada hanyalah interdependensi dan simbiosa. Masih bingung? berikut contoh2nya (lagi2 dalam rerangka dunia akuntansi lagi tentunya, hehe).
1a. Praktisi
Para akuntan di-perusahaan, sangat lazim melakukan apa yang kita kenal sebagai income smoothing atau earning management- yang artinya mencatat atau menunda variabel2 pendapatan atau biaya, sehingga pada akhirnya laba (profit) perusahaan berada di level yang dikehendaki. Tindakan mencatat atau menunda variabel2 tadi tentunya masih dilakukan dalam rerangka yang diperbolehkan oleh Standar Akuntansi. Variabel2 tadi istilah teknisnya adalah accrual (artinya transaksi2 yang non kas-seperti pembelian secara kredit, penjualan secara kredit, hutang, piutang etc). Rekan2ku yang bekerja sbg akuntan pasti mahfum dengan hal ini. Sebagai contoh, perusahaan biasanya mencatat provisi biaya tertentu bulan ini (bukan bulan depan), karena ada kemungkinan penjualan bulan depan akan turun. Dengan demikian laba bersih bulan ini dan bulan depan tidak berbeda jauh, sehingga manajemen level atas bisa melihat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik.
1b. Akademisi
Para akademisi kurang tertarik untuk mengetahui cara2 apa yang dipakai oleh perusahaan untuk melakukan income smoothing atau earning management, karena hal tersebut memang sulit untuk diobservasi. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui motivasi dibalik earning management dan bagaimana mengukur/mengetahui earning management. Sehingga para akademisi berusaha merumuskan model (antara lain Jones-1991) untuk mengetahui ada atau tidaknya earning management. Lebih lanjut, Dechow & Dichev (2002), melihat bagaimana mengukur earning quality dari suatu perusahaan. Semakin besar indikasi earning management-nya (terutama dengan adanya discretionary accruals), maka semakin rendahlah earning quality-nya. Sebagai informasi, investor akan lebih senang kepada perusahaan yang earningnya (baca labanya), memiliki tingkat cash flow yang tinggi pula.
2a. Praktisi
Zaman di Ernst & Young (EY) dulu, aku ditempatkan di grup yang khusus menangani audit di bidang perkebunan (plantations) dan manufaktur. EY berpikir bahwa dengan menempatkan para staff-nya di perusahaan2 yang ada di industri yang sama, akan membantu para staff tersebut beradaptasi dengan bisnis klien2 mereka. Dengan kata lain, pemahaman auditnya akan lebih baik sehingga pekerjaanya pun bisa lebih berkualitas.
2b. Akademisi
Para akademisi, merespon fenomena tersebut dengan melakukan banyak riset tentang industry specialized auditor/audit firm-yang dalam dunia praktik di atas adalah pengelompokan auditor berdasarkan jenis industri perusahaan yang diaudit. Balsam et al (2003) menemukan perusahaan yang diaudit oleh industry specialized auditor memiliki earning quality yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak spesialis. Carcelo and Nagy (2003) berpendapat bahwa penggunaan industry specialized auditor meningkatkan kualitas voluntary disclosure. Dunn and Mayhew (2004) melaporkan bahwa industry specialized auditor menyebabkan fraudulent financial reporting lebih rendah.
***
2 contoh di-atas menunjukkan bahwa akademisi dan praktisi hidup saling berdampingan satu sama lain. Akademisi selalu berusaha untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia praktik sementara Praktisi selalu menge-explore hasil riset para akademisi untuk praktik yang lebih baik di dunia nyata, dan seterusnya. Di dalam satu kasus di mana seorang akademisi adalah juga seorang praktisi, maka ia akan menjadi orang yang kaya ilmu dan fenomena, layaknya sumber mata air yang tak pernah kering.
Sebagai penutup, satu caveat layak aku sampaikan disini. Bahwa akademisi dan praktisi itu menempati 2 tempat yang terpisah dan saling berhubungan itu telah aku akui. Namun demikian, tetaplah menjadi kewajiban bagi seorang akademisi untuk memberikan bekal kepada anak didiknya tentang kenyataan yang akan dihadapi mereka kelak di dunia nyata. Dengan kata lain, berusaha untuk memperkecil culture shock si anak didik di dunia kerja nantinya, sebab pada akhirnya, kebanyakan siswa akan berkarier menjadi para praktisi.

Salam.