Ada yang menarik dari Undang-Undang Penanaman Modal yang baru saja disahkan oleh DPR RI beberapa waktu yang lalu. Di dalam pasal 15 yang memuat tentang hak kewajiban dan tanggung jawab penanam modal, di salah satu butirnya, disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) – selanjutnya disingkat CSR.
Menjadi lebih menarik lagi jika butir tersebut kita kaitakan dengan beragam masalah lingkungan dan sosial masyarakat berkaitan dengan keadaan korporasi di Indonesia, seperti misalnya kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport di Papua dan tentu saja yang paling ‘heboh’ adalah masalah semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo.
Selama ini, pelaksanaan CSR di Indonesia hanyalah merupakan sebuah tindakan sukarela dari perusahaan. Artinya, CSR sangat tergantung dari komitmen dan norma etika perusahaan untuk turut memikirkan kondisi sosial sekitarnya. Sehingga, wacana CSR tidak pernah menjadi prioritas utama bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Sementara itu, perkembangan CSR di mancanegara sudah demikian sangat populer. Di beberapa negara bahkan, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Para pendukung gagasan CSR, menggunakan teori kontrak sosial dan stakeholder approach untuk mendukung argumen mereka. Di bawah teori kontrak sosial, perusahaan ada karena ada persetujuan dari masyarakat (corporations exist, then, only by social permission). Konsekuensinya, perusahaan harus melibatkan masyarakat dalam melaksanakan operasinya bisnisnya.
Sementara stakeholder approach berpandangan bahwa keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham (stockholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya. Sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007)
[1] memberikan gambaran yang yang mendukung pelaksanaan CSR sebagian bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill et. al melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut.
Penelitian mereka menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-varaibel lainnya – perusahan-perusahaan yang melakukan CSR, pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang signifikan, namun, dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan praktik CSR.
Dari penelitian tersebut bisa dilihat bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR. Pendeknya, CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.
Masalahnya, mayoritas korporasi di Indonesia saat ini masih memandang bahwa CSR merupakan suatu proyek “merugi” dan berpendapat bahwa CSR tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan di masa depan. Dengan kata lain, CSR tidak membantu tujuan perusahaan yang hakiki, yaitu meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya sesuai dengan harapan para pemegang saham.
Nah, di sinilah seharusnya terobosan yang dilakukan oleh UUPM dengan memasukkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai salah kewajiban bagi penanam modal, segera ditindaklanjuti. Pemerintah dapat menyusun suatu perangkat hukum – baik itu Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah – yang mengatur pelaksanaan CSR di Indonesia. Tujuannya jelas, agar tanggung jawab (responsibility) sosial perusahaan menjadi kewajiban (liability) yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Sehingga ke depannya praktik-praktik operasional perusahaan yang tidak bertanggung jawab dapat dihindari dan kalaupun terjadi, bisa dituntut melalui peraturan hukum yang jelas.
Bagi perusahaan sendiri, CSR sudah selayaknya di pandang sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan menyelaraskan program CSRnya dengan produk dan image perusahaan yang bersangkutan. Sebagai contoh, perusahaan rokok bisa melakukan program kemitraan dengan para petani tembakau lalu perusahaan produsen susu bisa melakukan program kerjasama dengan para peternak sapi setempat dan sebagainya. Dalam lingkup global, perusahaan yang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakat sekitarnya adalah the Body Shop, yang aktif mengkampanyekan kerjasama perdagangan secara fair dan mengembangkan komunitas sekitar negara di mana pabrik produk-produknya berada.
Sebagai penutup, penderitaan masyarakat karena ulah korporasi yang tidak bertanggung sudah sedemikian beratnya. Untuk itu diperlukan suatu langkah berani dari pemerintah untuk meneruskan langkah positif yang sudah dituangkan dalam UUPM – dalam kaitannya dengan tanggung jawab sosial perusahaan – sehingga kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak dapat terlindungi. Sangat penting juga bagi kalangan lobbyist di DPR dan juga pressure group macam LSM dan gerakan mahasiswa, untuk memperjuangkan produk hukum lanjutan berkenaan dengan CSR ini, demi menyelamatkan lingkungan dan masa depan anak cucu kita.